Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Mendengarkan Masyarakat, Kunci Penggerak Perubahan Lingkungan

Bagikan Tulisan
Tangkapan layar kegiatan School of EcoDiplomacy Kelas Menengah. (Dok. EcoNusa)

Masyarakat memegang peran penting dalam agenda perubahan lingkungan hidup. Mereka adalah katalisator atau penggerak perubahan menuju pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Tanpa partisipasi masyarakat, agenda perubahan lingkungan seperti pengendalian pemanasan global atau ketahanan pangan hanya akan berjalan secara parsial.

“Sering kali solusi datang dari masyarakat. Tanpa disadari, saat mereka bercerita,  muncul solusi apa yang bisa mereka lakukan. Namun ada hambatan ini dan itu,” kata Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam talkshow bersama peserta School of Eco Diplomacy Kelas Menengah pada Jumat, 23 Oktober 2020.

Talkshow ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan School Eco Diplomacy (SED) Kelas Menengah EcoNusa yang telah dimulai sejak 17 Oktober hingga 27 November 2020 mendatang. Sebanyak 30 peserta dari seluruh Indonesia terpilih untuk mengikuti program peningkatan kapasitas kepemimpinan lingkungan untuk generasi muda Indonesia ini. Para kaum muda terpilih ini nantinya diharapkan dapat mencetuskan aksi-aksi dalam pelestarian lingkungan hidup dan berkontribusi nyata untuk penyelamatan lingkungan di Indonesia, terutama Indonesia Timur. 

Dalam talkshow ini, Nur mengatakan, advokasi lingkungan hidup akan dapat berjalan efektif bila sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aktivis lingkungan hidup maupun organisasi kepemudaan yang datang mengunjungi masyarakat seharusnya tak berperan sebagai penyelamat. Menurutnya, siapa pun yang datang mengunjungi masyarakat selayaknya berperan sebagai seorang murid yang menyambangi sang guru. 

Dalam pemaparannya, Nur juga menyoroti kesalahan pemerintah dalam mengidentifikasi masalah yang terjadi di masyarakat. Menurutnya, pemerintah acap kali datang dengan sikap formal. Hal ini membuat masyarakat menjadi tak terbuka. Akibatnya proses penggalian informasi untuk mencari akar masalah dan solusi hanya sebatas formalitas dan seremonial.

“Kunci pertama (saat datang ke masyarakat dan) mendampingi masyarakat itu mendengar. Kalau mau bantu, ketahui dulu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan seperti guru, datang lalu ceramah. Datanglah sebagai murid yang tidak tahu apa-apa. Kita harus siap belajar dari masyarakat,” ucap Nur. 

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, tak ada ketentuan baku dalam mendampingi masyarakat dan mengadvokasi perubahan lingkungan hidup. Menurutnya, setiap komunitas masyarakat memiliki pendekatan yang berbeda dalam memandang permasalahan.

KIARA menggunakan pendekatan personal saat mengadvokasi isu perempuan nelayan yang belum terakomodasi dengan baik dalam perundang-undangan. Nelayan perempuan memiliki peran penting dalam rantai produksi perikanan dan aktivitas ekonomi keluarga nelayan. Namun di sisi lain, nelayan perempuan tak mendapatkan perlindungan yang sama seperti nelayan laki-laki.

“Kami tidak gunakan kata-kata berat saat bicara dengan masyarakat. Bukan berarti masyarakat tidak pintar. Semua orang punya kecerdasan yang khas. Pertama, kami duduk dengan mereka, kami pergi melaut. Kami tidak bilang ‘ibu, kita harus bicara kesetaraan gender,” ujar Susan.

Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia (RMI) Mardha Tillah mengatakan, advokasi lingkungan hidup tak bisa dilakukan sendiri. Kolaborasi menjadi kata kunci penggalangan suara untuk mengubah sesuatu yang berdampak positif kepada publik. Ketiadaan kolaborasi akan memperpendek nafas advokasi.

“Berjejaring, kenal kanan-kiri itu memperpanjang nafas advokasi yang terkadang naik turun. Tapi kita bisa berjejaring untuk saling mendukung. Perjalanan pasti akan panjang,” ucap Mardha.


Editor: V.A Wulandani & Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved