Meskipun bukan kampung wisata, Selpele memiliki wilayah adat yang berdekatan dengan tujuan wisata primadona bagi wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat, yakni Wayag. Alhasil, tak sedikit warga Selpele yang menggantungkan kehidupannya pada wisata Wayag di Papua Barat.
Namun, pandemi COVID-19 mengubah semuanya. Penduduk Selpele yang menyambung hidup dari pariwisata mesti memutar otak agar dapat terus bertahan hidup. Ini menjadi pemikiran bagi masyarakat, karena jarak Selpele dari Kota Sorong amat jauh. Perlu sekitar 17 jam bagi kapal reguler Kurisi untuk mencapai Sorong dari Selpele.
Tim EcoNusa COVID-19 Response Raja Ampat memasuki perairan Selpele Jumat 18 September 2020 saat cuaca sedang cerah. Sebelum kapal bersandar, Samuel Wospakrik, Program Officer EcoNusa, mengabarkan bahwa tim akan disambut masyarakat pukul 9 pagi setelah mereka selesai beribadah di gereja. Tim EcoNusa adalah rombongan dari luar Selpele pertama yang mereka sambut sejak COVID-19 mulai merebak Februari lalu.
Tim disambut di dermaga oleh barisan ibu-ibu yang menunggu aba-aba dari mayoret. Itu bukan drum band atau marching band, melainkan suling tambur. Ini menjadi tradisi khas Papua Barat yang biasanya dibawakan pada peristiwa-peristiwa tertentu, salah satunya adalah saat menyambut tamu undangan khusus.
Ada tiga alat musik yang digunakan pada suling tambur, yakni suling, peluit, dan tambur. Tamburnya cukup unik. Semestinya membran tambur adalah kulit sapi atau rusa. Namun, karena keterbatasan biaya, mereka membalut selongsong tambur dengan karung atau terpal yang akan sobek jika dipukul terlalu keras.
Selain suling tambur, biasanya tamu undangan akan menerima kalungan bunga. Namun kali ini tidak, sebab semuanya sudah disesuaikan dengan protokol kesehatan. Orang-orang saling mengambil jarak dan membungkus hidung dan mulut dengan masker.
Setelah penyambutan, Linda Ayei, perwakilan Grup Suling Tambur Ibu PKK Selpele, bercerita bahwa sebelum COVID-19 merebak, sebetulnya ibu-ibu PKK Selpele hendak berwisata rohani ke Manokwari. Wisata rohani itu semestinya jadi wisata rohani pertama bagi mereka. Namun, sayangnya keinginan besar ibu-ibu PKK Selpele itu mesti ditunda sampai waktu yang tak dapat ditentukan.
“Mimpi itu su tinggal mimpi. Mungkin (kami belum bisa ke Manokwari) sampai situasi kembali normal,” ujar Linda.
Baca juga: Tak Ada Wisata di Arborek, Kasbi pun Jadi
Banyak kasus penyakit kulit di Selpele
Dalam pemeriksaan kesehatan, dokter tim EcoNusa COVID-19 Response Raja Ampat, Nanda, menemukan banyaknya masyarakat yang terjangkit penyakit kulit. Penyakit tersebut diakibatkan oleh jamur, tungau, dan beberapa infeksi sekunder akibat luka yang tidak ditangani dengan baik.
Anak-anak terlihat menggaruk-garuk badan karena gatal. Di kulit mereka ada bekas-bekas garukan yang dalam bahasa medis disebut lesi central healing.
Penyakit-penyakit kulit itu menyebar karena berbagi tempat tidur di rumah, kontak kulit karena mandi bersama, dan higienitas yang buruk. Jika tidak ditangani dengan baik, infeksi sekunder bisa muncul dan meluas ke sekujur tubuh.
Untuk penyakit jamur yang lesinya kecil, cukup diberikan salep miconazole 2%, sedangkan untuk lesi yang lebih luas diberikan obat jamur ketoconazole oral selama 7-10 hari. Untuk penyakit kulit yang lebih serius, seharusnya diberikan permethrin 5%. Hanya saja, karena ketersediaan obat yang terbatas, tim EcoNusa hanya bisa memberikan salep Gentamicin.
Penyakit kulit juga dialami oleh Lehi, perempuan 18 tahun. Dokter mendiagnosis dia terkena tinea corporis, yaitu kondisi penyakit kulit yang sudah menjalar ke seluruh tubuh, mulai dari tangan, badan, sampai kaki. Lehi merasa gatal karena berkeringat atau saat tidur di malam hari. Awalnya gatal itu hanya di punggung. Namun, karena dianggap biasa dan terus digaruk, lantas tidak tertangani dengan baik sehingga penyakit itu menyebar. Dokter menyarankan Lehi untuk terapi obat dan menjaga kebersihan badan serta tempat tidur.
Di tengah pandemi ini, masyarakat Selpele tak hanya harus waspada terhadap penyebaran virus Sars-Cov 2 penyebab COVID-19 saja. Mereka juga harus berjibaku dengan penyakit kulit yang rata-rata diderita oleh warga. Sementara itu, mereka juga harus berjuang mencari sumber penghidupan lain selama akses wisata ke Wayag ditutup untuk kunjungan wisatawan.
Editor: Leo Wahyudi & V.Arnila Wulandani