Masyarakat Hukum Adat (MHA) memiliki ikatan erat dengan lingkungan sekitarnya. Melalui kearifan lokal, masyarakat adat berupaya melindungi dan menjaga potensi sumber daya di wilayah mereka agar tetap lestari. Melihat hal ini, pemerintah berupaya melakukan pendampingan terhadap masyarakat adat di Indonesia.
“Kami sudah memfasilitasi sekitar 32 (Masyarakat Hukum Adat) yang sudah kami identifikasi untuk penetapan,” kata Koordinator Kelompok Masyarakat Hukum Adat, Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Moh. Ismail, dalam webinar yang diadakan oleh Jaring Nusa pada 11 April 2022.
Menurut Ismail, sepanjang 2021 terdapat 22 komunitas MHA yang sudah ditetapkan. Selain itu, terdapat 18 peraturan bupati/walikota di lima provinsi yang mengatur tentang MHA.
Baca Juga: Peserta STS Mogatemin Berjanji Olah Potensi Udang di Kampungnya
Sedangkan dalam hal penguatan MHA, KKP telah melakukan peningkatan kapasitas terhadap empat komunitas MHA. Selain itu, Pemerintah Indonesia melalui KKP juga telah memberikan 45 paket bantuan kepada 21 komunitas yang tersebar di 15 kabupaten/kota.
Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Sjamsul Hadi, memaparkan mengenai kearifan lokal yang dilakukan nenek moyang masyarakat Indonesia yakni warga gipsi laut.
“Mereka tidak menghabiskan ikan-ikan yang ada di wilayah adat mereka. Mereka ngambil secukupnya, dan memilih ikan-ikan yang layak untuk dipanen,” kata Sjamsul. Berdasarkan pemaparan Sjamsul, kaum gipsi laut memiliki alat penangkapan tradisional berupa panah dan teknik tombak ikan yang disebut serampang.
Baca Juga: Penangkapan Ikan Terukur Abaikan Ekosistem dan Kesejahteraan Nelayan
Upaya pemberdayaan MHA juga dilakukan oleh Kemdikbud-Ristek melalui program Sekolah Kearifan Lokal. Program ini berupaya mempertemukan antara MHA yang sudah tua dengan pemudanya. Harapannya program ini dapat menciptakan pertukaran informasi yang berkesinambungan untuk kepentingan komunitas MHA.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Kampung Malaumkarta di Kabupaten Sorong, Jefri Mobalaen, bercerita tentang penerapan aturan lokal berupa egek untuk melestarikan lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka. Egek adalah tradisi Suku Moi di Malaumkarta, yang sudah berlangsung turun temurun.
“Egek ini merupakan alat konservasi lokal atau konservasi tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adat,” kata Jefri. Egek bertujuan untuk melindungi suatu wilayah (laut dan hutan) dari para perusak.
Baca Juga: Pulau Um, Simbol Kelestarian Alam
Beberapa komoditas laut yang menjadi sasaran egek di Malaumkarta adalah lobster, teripang, dan siput. Perihal penangkapan, terdapat larangan alat tangkap yang merusak seperti potassium. Sedangkan alat tangkap tradisional dapat digunakan ketika egek dibuka.
Lebih lanjut, Jefri menjelaskan proses penetapan egek. Pada mulanya, dilakukan musyawarah bersama masyarakat untuk mencapai kesepakatan bersama penerapan egek. Setelah itu, ada surat edaran yang dibagikan kepada masyarakat hingga pemerintah sebagai sumber informasi mengenai egek yang sedang berlangsung.
Mengingat pentingnya egek dalam menjaga lingkungan, Jefri berencana mengadakan festival budaya egek. Harapannya, egek dapat dikenal luas oleh masyarakat dan mampu diterapkan sesuai dengan potensi wilayah masing-masing.
Baca Juga: Kearifan Lokal Egek, Upaya Perlindungan Hutan Malaumkarta Raya
Hal serupa juga disampaikan oleh perwakilan dari Yayasan Jala Ina, Ode Zulkarnain Sahji, yang memaparkan hukum adat masyarakat pesisir. Salah satu contohnya adalah ngam katula atau sasi ikan kembung yang dilakukan oleh masyarakat Namalomin di Kabupaten Seram Timur, Provinsi Maluku.
“Waktu musim gelombang dan angin kencang itu, ikan kembung ini akan masuk ke wilayah kampung Namalomin,” kata Zulkarnain. Setelah itu, untuk menghindari penangkapan berlebih, sasi akan dibuka selama beberapa jam saja.
Penangkapan ikan kembung menggunakan alat tangkap berupa jaring tradisional. Menariknya, ketika ikan kembung yang akan ditangkap melewati batas kampung, maka nelayan tidak akan menangkapnya karena dianggap bukan hak mereka. Hasil tangkapan yang dilakukan secara kolektif ini kemudian dibagikan kepada masyarakat sekitar kampung.
Baca Juga: “Saya Anak Negeri, Saya Mau Berdiri Sendiri”
Penggunaan alat tangkap tradisional dalam kegiatan penangkapan ikan sudah menjadi tradisi bahari masyarakat adat pesisir. Salah satu contoh tradisi bahari dalam bentuk kearifan lokal yaitu seke-maneke di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara.
“Kegiatan seke atau maneke menggunakan alat tangkap tradisional dan di sana benar-benar kelihatan tradisi baharinya,” kata pemerhati sejarah dan budaya bahari, Alex John Ulaen.
Berdasarkan penjelasan John, seke adalah seperangkat alat tangkap tradisional yang terdiri atas dua jenis sampan bercadik serta perahu jenis pamo dan alat tangkap yang disebut pandihe (bambu yang dirangkai untuk menangkap ikan). Sedangkan maneke adalah aktivitas menangkap ikan menggunakan peralatan tersebut secara massal dan terorganisir. Sebutan untuk pelaku kegiatan maneke adalah mananeke.
Baca Juga: Ancaman Kerajaan Ikan di Kaimana
Bergesernya tradisi bahari menjadi budaya maritim ditandai dengan masuknya perahu bermotor (pumpboat). Sayangnya, menurut John, hal ini secara perlahan menghilangkan tradisi bahari seperti kebiasaan nelayan mendendangkan sasambo saat melaut, dan kearifan lokal seperti pengetahuan nelayan pada waktu-waktu tertentu untuk melaut agar terhindar dari arus.
John mengatakan, tradisi-tradisi tersebut perlu terus dilestarikan. Selain merupakan kearifan lokal, tradisi juga terbukti mampu menjaga alam. “Kalau tradisi bahari sudah mau punah, lalu yang ada itu apa?” kata John.
Editor: Nur Alfiyah, Lutfy Putra, Leo Wahyudi