
Kampung Konderjan, yang terletak di Distrik Tor Atas, Kabupaten Sarmi, Papua, menyimpan sejarah panjang dalam budi daya kakao. Sejak masa pemerintahan Belanda, masyarakat kampung ini telah menanam kakao dan menjadikannya sebagai salah satu sumber utama penghidupan. Seiring waktu, wilayah ini dikenal sebagai “raja cokelat” dari Papua karena kualitas dan produktivitasnya yang menjanjikan.
Namun, kejayaan masa lalu kini perlahan memudar. Perubahan iklim yang kian ekstrem serta tantangan internal menghambat perkembangan sektor kakao yang dulunya menjadi andalan ekonomi masyarakat. Meski Distrik Tor Atas masih memiliki areal kebun kakao seluas 44,03 hektare dengan produksi mencapai 6,55 ton (data 2019), kondisi ini jauh dari potensi optimalnya.
Perubahan Iklim: Ancaman Nyata bagi Produktivitas Kakao
Dulu, banjir dari Kali Tor hanya datang setahun sekali, biasanya pada bulan November atau Desember. Kini, intensitas banjir meningkat drastis, dengan debit air yang lebih tinggi dan genangan yang lebih luas. Banyak kebun kakao, terutama yang terletak di seberang kali, kini terendam secara berkala. Hal ini menyebabkan penurunan hasil panen, rusaknya tanaman, serta biaya tambahan karena petani harus menggunakan perahu ketinting untuk menjangkau kebun mereka.
Situasi ini diperparah oleh kondisi ekonomi petani yang serba terbatas, membuat mereka kesulitan membeli bahan bakar atau memperbaiki alat produksi.
Masalah Internal: Kurangnya Perawatan dan Pengetahuan Teknis
Selain tantangan lingkungan, kebun kakao Konderjan juga menghadapi persoalan dari dalam. Banyak pohon kakao dibiarkan lembab dan tidak dipangkas secara rutin, membuatnya rentan terhadap serangan jamur dan penyakit. Buah kakao pun banyak yang membusuk karena penanganan hama yang kurang tepat.
Sebelumnya, pelatihan dari dinas terkait pernah diberikan, namun sebagian besar petani merasa bahwa pelatihan tersebut belum menyeluruh. Ada juga petani berpengalaman yang pernah bekerja di perusahaan kakao besar, namun ilmu mereka belum ditransfer secara luas kepada rekan-rekan lainnya.
Pelatihan EcoNusa: Membangun Ketahanan dan Harapan Baru
Melihat kondisi yang memprihatinkan ini, Yayasan EcoNusa bekerja sama dengan Pemerintah Kampung Konderjan mengadakan pelatihan intensif bagi petani kakao pada tanggal 18–21 Maret 2025. Kegiatan ini bertujuan untuk membekali petani dengan keterampilan praktis yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan saat ini.
Materi pelatihan mencakup:
- Rehabilitasi kebun dan perawatan tanaman
- Penataan kebun untuk adaptasi banjir
- Pengolahan pasca panen (termasuk pembuatan kotak fermentasi dan pembangunan para-para jemur)
- Strategi pemilihan lahan baru yang lebih aman dari banjir
Pelatihan ini tidak hanya menyasar petani, tetapi juga melibatkan aparat kampung dan kelompok masyarakat sebagai bagian dari upaya kolektif membangun ketahanan ekonomi berbasis komunitas.
Menuju Kampung Percontohan Kakao di Papua
Kepala Kampung Konderjan, Aser M. Borom, menyambut baik inisiatif ini dan berharap agar para petani benar-benar menerapkan ilmu yang diperoleh. Ia juga mendorong ketua kelompok dan aparat kampung untuk turut aktif dalam menjaga keberlanjutan program ini.
“Dahulu Kampung Konderjan dikenal sebagai raja cokelat. Saya berharap program ini bisa menghidupkan kembali kejayaan kakao dan menjadikan kampung kami sebagai kampung percontohan di Papua,” ungkapnya.
Potensi besar kakao di Kampung Konderjan belum sirna. Dengan kolaborasi antara masyarakat, pemerintah kampung, dan lembaga seperti Yayasan EcoNusa, kakao bisa kembali menjadi komoditas unggulan yang menggerakkan ekonomi lokal. Lebih dari sekadar pelatihan, inisiatif ini menunjukkan bahwa adaptasi terhadap perubahan iklim dan penguatan kapasitas petani adalah kunci untuk masa depan yang berkelanjutan.
Editor: Nur Alfiyah