Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Eko, Sosok Perangkul Pemuda dan Pendorong Para Mama

Bagikan Tulisan
Eko Susanto bersama peserta Sekolah Transformasi Sosial (STS) Saka MEse Nusa di dalam rumah pengering kopra. (Yayasan EcoNusa/Roberto Yekwam)

Dua pemuda menata kelapa yang sudah dibelah di atas rak kayu di sebuah rumah pengering ultraviolet serbaguna di tepi pantai Negeri Kamal, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Meski waktu baru menunjukkan pukul 08.15 WIT, wajah mereka memerah karena hawa panas yang tersimpan di rumah pengering tersebut. “Kegiatan sehari-hari seperti ini, cek rumah pengering aman atau tidak,” kata Marlens Monaten, salah satu pemuda tersebut, Sabtu, 21 Mei 2022. 

Marlens, 19 tahun, tamatan sekolah menengah atas (SMA). Sedangkan pemuda lainnya, Jepson Monaten, 24 tahun, lulusan sekolah dasar (SD). Sejak tamat sekolah tersebut, keduanya belum pernah bekerja. “Sehari-hari begitu saja, mondar-mandir, seng (tidak) ada kegiatan,” ujar Marlens. 

Baca juga: Lulusan SD Jadi Inisiator Kemandirian Negeri

Baru pada Maret 2021 mereka diajak oleh Eko Susanto untuk bekerja. Waktu itu, Eko baru pulang mengikuti pelatihan di Sekolah Transformasi Sosial (STS) Saka Mese Nusa di Negeri Morekau, Seram Bagian Barat, pada 8-25 Februari 2021 yang diinisiasi oleh Yayasan EcoNusa. Ada tiga kelas di program tersebut, yaitu kelas pertanian organik, kelas pengering serbaguna, dan kelas biogas. Eko mengikuti kelas pertanian organik.

Sekembalinya ke Kamal, Eko membujuk para pemuda berandalan dan pengangguran di kampungnya untuk menjajal pertanian organik. Menurut Eko, ada banyak anak muda di negerinya tak punya pekerjaan. Kegiatan mereka hanya mabuk-mabukan dan membuat ulah di kampung. “Saya mengajak mereka pelan-pelan, tidak cukup sekali-dua kali,” kata Eko. 

Dalam salah satu upayanya, ia meminta mereka untuk menghitung biaya rokok yang dikeluarkan selama setahun. Rata-rata mereka membelanjakan uang sebanyak Rp10 ribu per hari untuk rokok. Jika dikalikan, dalam setahun masing-masing bisa menghabiskan Rp3,5 juta lebih. Ini belum termasuk pengeluaran untuk keperluan lainnya. “Padahal tidak ada pemasukan,” kata Eko.

Baca juga: Penutupan STS Morekau, Sesi Berbagi Membangun Negeri

Ada 12 orang pemuda pengangguran yang akhirnya tertarik bergabung. Eko lalu menularkan ilmu yang ia dapat di STS, seperti memilih bibit, membuat bedeng, cara bertanam, dan membuat pupuk. 

Dengan peralatan pinjaman dari tetangga, mereka menanam kangkung, kacang panjang, kacang tanah, cabai, dan buncis. Hasil panennya dijual ke masyarakat di sekitar kebun. Sebagian yang lain dibagikan ke para pemuda itu untuk dibawa pulang ke rumah. Uang dari penjualan tersebut dipakai untuk membeli bibit dan alat-alat pertanian yang dibutuhkan. 

Sejak Oktober lalu, Eko menjajal usaha kopra putih. Ia mendapat pinjaman dana untuk membangun rumah pengering serbaguna. Eko membuatnya dari plastik UV. Ia membeli kelapa dari petani kelapa di negerinya untuk dijadikan kopra.  

Baca juga: STS Hanya Permulaan

Namun lama-lama, pemuda yang ia ajak mundur satu-persatu. Sebagian memilih untuk bekerja di kota, sebagian lainnya mundur karena masih ingin bersenang-senang. Kini tersisa enam orang pemuda yang masih aktif berkegiatan. Eko melibatkannya dalam pembuatan kopra tersebut.   

Sampai saat ini, Marlens belum menikmati hasil penjualan baik dari pertanian organik maupun kopra. Namun ia sudah cukup puas karena bisa belajar bertani organik dan mengeringkan kopra. Yang jelas, kini ia punya kegiatan. “Harapannya semoga nanti bisa bikin kebun dan rumah pengering sendiri,” katanya.  

Melihat hal ini, A. Noya, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Desa Kamal, mendukung upaya Eko untuk merangkul para anak muda. Menurutnya, ada banyak pengangguran di desanya. Terkadang mereka membuat onar di kampung. “Mari kitong (kita) membangun negeri ini ke depan,” ujarnya.   

Baca juga: Peserta STS Mogatemin Berjanji Olah Potensi Udang di Kampungnya

Selain mengajak para pemuda, Eko juga memotivasi para mama yang tergabung dalam Dasawisma di Rukun Tetangga (RT) di wilayah rumahnya untuk kembali aktif berkebun. Mereka dipinjami lahan yang lama tak termanfaatkan oleh salah satu warga. 

Eko mengajari mereka mengolah lahan dan membuat pupuk organik dari bahan-bahan yang ada di sekitar mereka, seperti air kelapa, pisang, ikan, dan air beras. “Sebelumnya tidak pernah (tahu tentang pupuk organik), baru setelah kerja sama dengan Pak Eko, katong (kami) jadi tahu. Sayurnya jadi lebih subur,” kata mama Yulia Somae, Ketua Dasawisma.

Para mama menanam kacang tanah, kangkung, dan buncis. Hasil panennya mereka jual ke tetangga sekitar dan dikonsumsi sendiri. Ini membuat para mama jadi lebih irit mengeluarkan uang harian. “Biasanya belanja sayur Rp5 ribu per hari, tapi kalau sedang panen, katong seng beli,” kata mama Carolina Upuyi.

Editor: Leo Wahyudi, Carmelita Mamoto, Lutfy Putra

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved