Papua diberkahi keanekaragaman hayati yang kaya. Sebagian besar wilayahnya ditutupi hutan alam yang merupakan benteng terakhir hutan hujan tropis Indonesia. Meski menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna, namun banyak spesies yang belum teridentifikasi, termasuk di wilayah hutan adat Bokoma di Kampung Kaprus, Manokwari Selatan, Papua Barat. Kesenjangan informasi kekayaan flora dan fauna menjadi salah satu permasalahan dalam penyusunan rencana tata kelolah hutan. Padahal, keterbatasan data keanekaragaman hayati sangat penting juga bagi penyusunan dokumen pengusulan penetapan hutan hutan adat Bokoma.
Untuk mendata keanekaragaman hayati tersebut, Universitas Papua, Rainforest Trust Foundation, Yayasan EcoNusa, dan Ekozona berkolaborasi untuk melakukan survei di wilayah hutan adat Bokoma pada Oktober 2024. Ada 10 peneliti dan 7 asisten peneliti dari Universitas Papua, seorang fotografer, dan 3 orang dari Ekozona yang turun untuk melakukan penelitian langsung selama 10 hari.
Kami meneliti tentang keragaman tumbuhan, kupu-kupu dan capung, ikan air tawar, herpetofauna atau binatang melata, burung, mamalia, dan etnobiologi di hutan adat Bokoma. Ini dilakukan karena hutan tersebut merupakan ekosistem dataran rendah yang sangat penting bagi hidupan liar biota-biota itu. Data observasi spesies maupun habitat dan rekamannya akan membantu penilaian kualitas habitat distribusi hidupan liar dan kelimpahan spesies-spesies itu di alam. Kualitas kekayaan spesies ini sangat berguna bagi penilaian kesehatan ekosistem dan keberlanjutan fungsi ekologis hutan adat Bokoma di masa depan.
Baca Juga: Pohon Sowang, Bahan Utama Rumah Panggung Sentani yang Kian Hilang
Saya yang merupakan mahasiswa Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Papua ini menjadi asisten tim penelitian kupu-kupu dan capung. Dua fauna tersebut merupakan bagian dari kelompok serangga yang memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Keanekaragaman spesies kupu-kupu dapat dijadikan sebagai bioindikator kelestarian atau kualitas suatu lingkungan. Demikian juga dengan capung. yang berperan sebagai indikator kualitas air. Semakin tinggi jumlah spesies yang ada menunjukkan bahwa sungai-sungainya masih tergolong baik dan tidak tercemar dengan bahan kimia.
Dari Kota Manokwari, kami berkendara menggunakan mobil sekitar 4 jam untuk menuju Kampung Kaprus. Karena ini pengalaman pertama saya turun ke lapangan, banyak pertanyaan muncul di kepala saya –bagaimana kami akan tidur, mandi, dan sebagainya. Namun, begitu kami berkumpul di kampus dan memindahkan barang-barang ke dalam empat mobil Hilux, saya mulai merasa siap untuk petualangan ini. Kami berhenti sejenak di Andai, di dekat pabrik semen, lalu menuju Ransiki untuk makan siang sebelum melanjutkan perjalanan menuju basecamp di Kilometer 15. Setelah tiba dengan selamat di basecamp, kami segera mengatur barang bawaan, membersihkan kamar, dan mempersiapkan peralatan untuk turun lapangan esok hari.
Pada hari kedua, hujan turun dengan derasnya. Meski demikian, kami tetap mempersiapkan diri untuk turun lapangan. Setelah cuaca membaik, kami berjalan sejauh 2 kilometer menyusuri kali dan hutan di lokasi penelitian transek 1. Kami menangkap capung dan kupu-kupu di sini. Proses pengambilan sampel ini tidak mudah. Beruntung kami dibantu oleh warga setempat dan teman-teman dari Ekozona.
Baca Juga: Vanili, Harapan Masyarakat untuk Meningkatkan Pendapatan
Hari-hari berikutnya kami melakukan hal yang sama di lokasi penelitian transek 2 hingga 10. Beberapa tantangan harus kami hadapi. Selain cuaca yang tiba-tiba bisa berubah, juga gigitan lintah, sampai dikejar oleh sapi-sapi yang agresif. Tapi semua itu tidak menyurutkan semangat kami untuk melakukan penelitian. Dalam beberapa hari tersebut, kami berhasil mengidentifikasi sebanyak 115 spesies kupu-kupu dan 61 spesies capung. Dengan nilai indeks keanekaragaman kupu-kupu berdasarkan indeks Shannon-Wiener tergolong tinggi (H’= 3.79). Sedangkan nilai indeks keanekaragaman capung tergolong sedang (H’=2.86).
Kupu-kupu yang paling dominan diidentifikasi di semua transek adalah Erysichthon lineata dan Ionolyce helicon dari famili Lycaenidae serta Appias celestina dari famili Pieridae. Kupu-kupu tersebut banyak ditemukan sedang mengisap mineral di sekitar sungai-sungai. Pada transek juga ditemukan kupu-kupu Ornithoptera priamus (Papilionidae) yang dilindungi berdasarkan Peraturan pemerintah Undang-Undang nomor 32 tahun 2024 dan termasuk spesies endemik di Maluku dan New Guinea.
Selama 10 hari di lapangan, saya belajar banyak tentang keragaman hayati Papua dan pentingnya konservasi alam. Pengalaman ini tidak hanya menambah pengetahuan saya sebagai mahasiswa biologi, tetapi juga membuka mata saya akan pentingnya pelestarian alam dan keragaman spesies di Indonesia, khususnya di Papua.
Editor: Nur Alfiyah