Ekowisata menjadi salah satu skema pemanfaatan jasa lingkungan yang dapat diterapkan di Tanah Papua. Dalam pelaksanaannya, pelibatan masyarakat sebagai subyek utama pengembangan ekowisata menjadi syarat yang tak bisa ditawar. Masyarakat setempat harus merasakan manfaat langsung dari aktivitas ekonomi yang terjadi.
Hal itu disampaikan Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa, dalam diskusi virtual bertajuk “Ekowisata Berbasis Masyarakat Adat untuk Orang Asli Papua” yang diselenggarakan oleh Mongabay Indonesia pada Sabtu 18 July 2020. Menurut Bustar, pengelolaan ekowisata harus mampu memberikan manfaat langsung, baik manfaat ekonomi maupun sosial.
“Yang paling penting adalah bagaimana masyarakat asli Papua sendiri tidak hanya menjadi penonton. Tidak hanya menjadi pekerja, tapi merekalah yang mengelola dan merawat obyek wisata, karena itu adalah tanah dan masa depan mereka,” kata Bustar Maitar.
Ekowisata didefinisikan sebagai perjalanan atau kegiatan berwisata yang terkoneksi dengan alam dan budaya serta dilakukan secara bertanggung jawab. Konsep ekowisata kali pertama diterapkan di Kosta Rika pada tahun 1990, setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjuk negara di Benua Afrika itu untuk menjalankan proyek ekowisata pertama di dunia.
Dukungan pemerintah Indonesia terhadap pengelolaan ekowisata terlihat melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah.
Dalam ketentuan yang tercantum di Permendagri, ekowisata diartikan sebagai kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggung jawab dengan memerhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal.
“Banyak kegiatan yang mengklaim sebagai ekowisata, padahal tidak. Misalnya, berfoto dengan menaiki hiu paus yang jinak, mengambil terumbu karang, meninggalkan sampah di gunung. Prinsip edukasi dan konservasi juga penting diterapkan,” ucap Bustar.
Menurut Bustar, Tanah Papua memiliki potensi besar untuk pengembangan ekowisata. Bumi cendrawasih tersebut menjadi rumah bagi megabiodiversitas yang dihuni oleh beragam flora dan fauna endemik, seperti 125 jenis mamalia (55 persen endemik), 223 jenis reptil (35 persen endemik), 602 jenis burung (52 persen endemik), dan 15.000-20.000 jenis tumbuhan.
Kekayaan Tanah Papua tak berhenti pada sumber daya alam. Kompleksitas sosial-budaya di Tanah Papua dapat menjadi daya tarik yang dapat ditawarkan kepada wisatawan. Di sana, ada 255 suku asli yang hidup berdampingan dengan menggunakan 384 bahasa yang berbeda.
Bustar menyebutkan, EcoNusa turut mendukung pengembangan ekowisata di sejumlah wilayah di Tanah Papua, seperti spot foto di Pulau Yapen, Papua, pengamatan burung di Sorong, Papua Barat, pendakian Gunung Cartensz, Papua dan pengelolaan homestay di Raja Ampat, Papua Barat.
“Yang menarik di Raja Ampat, 75 persen akomodasi dikelola oleh anak-anak asli Papua. Pelayanannya sangat kekeluargaan. Ini harus didukung oleh pemerintah, bukan mendorong resort besar masuk kemudian orang Papua hanya menjadi pekerja,” ujar Bustar.
Bustar menuturkan, dalam dua tahun terakhir ini EcoNusa membantu asosiasi homestay di Raja Ampat dengan membuat standardisasi pengelolaan homestay. Hal ini untuk meningkatkan kompetensi masyarakat melalui berbagai pelatihan. Pada awal Februari 2020, EcoNusa mengumpulkan belasan pelaku ekowisata untuk berbagi pengalaman.
“Mereka saling menguatkan. ‘Oh ternyata kita, orang Papua bisa melakukan’. Masyarakat harus diperkuat lebih dulu. Kalau pengusaha luar, sekali alam sudah rusak, dia bisa pergi ke tempat lain untuk bangun usahanya. Tapi untuk anak muda Papua, alam adalah masa depan mereka,” kata Bustar.
Editor: Leo Wahyudi