Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Belajar Ketahanan Pangan dari Masyarakat Adat di Tanah Papua

Bagikan Tulisan
Tangkapan layar diskusi daring “Kupas Tuntas Ketahanan Pangan Masyarakat Adat Tanah Papua di Masa Pandemi” pada 29 April 2020.
 

Pandemi COVID-19 menimbulkan kekhawatiran baru tentang ketersediaan pangan nasional. Swakarantina dan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mempengaruhi produksi, memutus rantai pasok dan menghambat laju distribusi.

Tanah Papua dengan lebih dari 300 suku di dalamnya menjadi wilayah paling rentan terhadap dampak COVID-19. Namun di sisi lain, wilayah ini dianggap mampu bertahan dari ancaman krisis pangan akibat wabah tersebut. Mereka memiliki kearifan lokal dan strategi ketahanan pangan yang telah diwariskan secara turun-temurun sejak ribuan tahun yang lalu.

“Suku-suku di Tanah Papua memiliki kearifan dan strategi ketahanan pangan yang telah berlangsung sejak 7.000-10.000 tahun yang lalu. Mereka mampu menyediakan sumber pangan lokal secara mandiri,” kata Daawia Suhartawan, dosen Biologi di Universitas Cendrawasih dalam diskusi daring “Kupas Tuntas Ketahanan Pangan Masyarakat Adat Tanah Papua di Masa Pandemi” pada 29 April 2020.

Daawia mengatakan bahwa pengelolaan pertanian modern berbanding terbalik dengan pertanian lokal di Tanah Papua. Dia mencontohkan pertanian di Distrik Mokwam, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, yang membuat kebun di sela-sela hutan Pegunungan Arfak. Menurut Daawia, mereka telah menerapkan konsep pertanian permakultur, atau pertanian yang tak bertentangan dengan alam. Praktik ini jauh sebelum Bill Mollison dan David Holmgren mengenalkan istilah tersebut pada 1978.

“Selain memanen hasil hutan, ada udara yang bersih dan produk obat-obatan. Penelitian orang kehutanan menemukan bahwa dengan pola perladangan berpindah selama ratusan tahun ini tidak ada bencana tanah longsor,” ujar Daawia.

Sistem pertanian yang tak bertentangan dangan alam, rotasi lahan, dan sistem penanaman polikultur untuk menahan ledakan hama menciptakan hasil panen varietas unggul. Dalam sebuah festival hasil pertanian di Merauke, Papua, ditemukan keladi dengan panjang hampir 1 meter, ubi jalar berdiameter lebih dari 1 meter, kentang hitam dengan panjang lebih dari 2 meter. “Kalau kita kembangkan secara budidaya, sistem pertanian tersebut bisa memberi makan orang Indonesia,” kata Daawia.

Pendiri komunitas juru masak Papua Jungle Chef, Charles Toto, mengatakan perubahan zaman menggeser pola konsumsi masyarakat.  Komunitas juru masak tersebut mempelajari kearifan masyarakat adat dalam pola konsumsi. Pada masa pandemi ini, Chato, sapaan Charles Toto, bersama koleganya melakukan pendataan makanan untuk menggali identitas budaya kuliner masyarakat Papua. Mereka mendapati berbagai metode baru dalam mengolah makanan yang dilakukan oleh masyarakat adat.

Chato mengumpulkan bibit tanaman yang dapat ditanam di pekarangan rumah. Mereka mengajarkan masyarakat untuk kembali berkebun. “Kami mulai menanam di semua rumah yang ada di sekitar. Yang ada di kota ini adalah masyarakat adat yang bergeser dari ruang lingkup mereka. Ini kami lakukan untuk mengembalikan tanaman di hutan Papua itu sendiri dengan memanfaatkan lahan-lahan yang ada,” kata Chato.

Begitu juga yang terjadi di Sorong Raya, Papua Barat. Feki Yance Wilson Mobalen, aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan bahwa pandemi COVID-19 membuat masyarakat kembali berkebun. Mereka tak membiarkan lahan pekarangan tanpa diolah. “Dunia sedang dididik untuk belajar dari masyarakat adat, belajar dari warga yang menjaga wilayahnya,” kata Feki menekankan pentingnya ketahanan pangan lokal di tengah pandemi.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved