Ketika pariwisata di Raja Ampat, Papua Barat, baru mulai dikenal pada 2003, umumnya turis mancanegara memesan paket wisata diving ke resor-resor di Selat Dampier yang dikelola oleh pendatang bekerja sama dengan penduduk lokal. Wisatawan menyelam untuk mencari wobegong, hiu berjalan (Hemiscyllium freycinetti), kuda laut mini (Hippocampus spp), dan ikan pari manta (Manta birostris). Selain itu, banyak turis ingin melihat tarian burung cenderawasih di hutan alam Kampung Sapokren. Sampai 2010, makin banyak resor dikelola oleh orang dari luar Papua. Keterbatasan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat lokal menjadi tantangan tersendiri. Kondisi ini menyebabkan masyarakat asli di wilayah ini hanya menjadi penonton di tanah sendiri.
Pada 2012, atas kesadaran masyarakat, sekelompok pemuda di Selat Dampier membentuk Asosiasi Homestay. Asosiasi ini ingin meningkatkan taraf perekonomian masyarakat, dengan memberikan ruang bersama untuk berdiskusi mengenai usaha dan kehidupan masyarakat lokal. Kristian Sauyai, koordinator Asosiasi, mengatakan, “Puji Tuhan, para pemuda kampung seakan-akan mendapat siraman air dingin ke muka mereka sehingga segera sadar untuk membangun homestay di kampungnya masing-masing.” Dengan pengelolaan secara profesional, saat ini pemesanan homestay oleh para turis dapat dilakukan melalui online di website stayrajaampat.com. Pada awal tahun berdirinya asosiasi, penghasilan dari turis yang menginap di homestay hanya berkisar Rp20–30 juta per tahun. “Dengan pemasaran online, penghasilan menjadi jauh lebih meningkat,” kata Kristian.
Sampai saat ini, Asosiasi Homestay memiliki 150 unit homestay yang tersebar di 10 kampung di Pulau Waigeo, Batanta, dan Misool. Melalui langkah konkret, Yayasan EcoNusa bekerja sama dengan Asosiasi menyusun rencana tahunan bersama termasuk di dalamnya program pelatihan pengelolaan layanan homestay.
Penghasilan Asosiasi Homestay kini sudah jauh lebih baik. Pemesanan turis dengan uang muka (down payment) saja mencapai Rp 1 milyar per bulan. Namun biaya operasional juga tinggi, karena bisa menghabiskan sekitar Rp 600 juta dalam dua minggu. “Tapi untuk pelatihan-pelatihan kami sudah siap sharing pendanaan untuk pelatihan manajemen Homestay yang direncanakan pada 4 – 6 April 2020 di Kampung Saporkren,” kata Kristian.
Dengan keadaan yang dirasakan saat ini, masyarakat semakin semangat untuk menjaga laut dan hutan di wilayah Selat Dampier dan di tempat lain di sekeliling homestay mereka. Menurut Marcel Mambrasar, Dive Master di Kampung Arborek yang kesehariannya melayani tamu homestay, mengatakan bahwa ekosistem karang di sekitar kampungnya semakin sehat. Bahkan telah dilakukan upaya rehabilitasi karang di tempat-tempat yang memliliki potensi kerusakan tinggi, sekaligus melatih pemuda untuk melestarikan lingkungan. “Ini sangat penting, pace. Kalau tong punya karang rusak, tidak ada turis yang mau datang ke tong punya tempat,” tegas Marcel.
Pendapat serupa diungkapkan oleh Orgenes Dimara, salah satu pengelola homestay. Ia menekankan bahwa ekosistem hutan di Pulau Waigeo terutama di belakang Kampung Saprokren harus dijaga agar burung Cenderawasih Merah (Paradisea rubra) tetap bebas melakukan tarian-tarian seperti bidadari dari surga. “Kami harus jaga hutan agar turis tetap datang melihat burung Cenderawasih menari. Kalau hutannya rusak, maka burung hilang dan lenyaplah penghasilan kami,” kata Orgenes.
Editor: Leo Wahyudi