Sebagian besar wilayah kepulauan Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke terdiri dari lautan. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), luas total wilayah Indonesia adalah 8,3 juta kilometer persegi. Sementara luas total perairan Indonesia adalah 6,4 juta kilometer persegi dengan panjang garis pantai 108.000 kilometer persegi dan sekitar 17.504 pulau. Dengan wilayah lautan seluas itu, seharusnya banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh negara dan masyarakat pesisir pada khususnya.
Sayangnya, pola pikir para pengusaha dan birokrat, terutama yang berkecimpung di sektor kelautan dan perikanan, selama ini hanya berfokus ke arah ekstraktif dan eksploitatif tanpa berpikir untuk melindungi sumber daya laut yang kita miliki dengan serius. Hal tersebut disampaikan oleh Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, dalam webinar “Tantangan Indonesia untuk Akhiri Illegal Fishing” yang diadakan Kumparan pada 12 Juni 2020 silam.
“Generasi lama hanya berpikir tentang extraction dan exploitation. Padahal perikanan adalah jenis sumber daya renewable yang semakin kita jaga maka semakin produktif. Semakin dibiarkan, dia akan beranak. Orang-orang generasi lama berpikiran mumpung ada banyak, lalu ditangkap sebanyak-banyaknya. Itu tidak betul. The more protection, the more productivity. You will get more money if you protect sources.” demikian ungkap Susi.
Laut merupakan sumber kehidupan yang menyediakan potensi pariwisata dan sumber pangan bernilai gizi dan ekonomis tinggi. Tapi, manfaat laut bagi kehidupan rakyat Indonesia jauh lebih besar dari sekedar hal tersebut. Sektor kelautan dan perikanan adalah penopang perekonomian negara dengan pendapatan dari hasil industri perikanan dan pajak negara atas kapal-kapal, terutama kapal asing yang beraktivitas di perairan Indonesia, termasuk kapal-kapal penangkap ikan.
Soal kelautan di Indonesia memang penuh tantangan. Selain mindset eksploitatif generasi lama, tantangan Indonesia dalam bidang kelautan dan perikanan juga terkait soal pemberantasan praktik Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF) yang kian mengkhawatirkan. Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) nomor 7 terluas di dunia, yakni 3 juta kilometer persegi. Menurut Susi, kondisi ini membuat para pelaku kejahatan IUUF menjadikan Indonesia sebagai sasaran untuk mengeruk hasil laut. Bahkan, wilayah laut Indonesia dikuasai oleh kartel-kartel besar yang dimiliki asing.
Secara global, kerugian dunia akibat praktik IUUF adalah 10 hingga 23,5 miliar USD per tahun. Dengan situasi pandemi Covid-19, angka kerugian justru meningkat menjadi 15,5 – 36,4 miliar USD. Di Indonesia, kerugian dari praktik IUUF mencapai 4 miliar USD per tahun. Menurut Susi, angka kerugian tersebut bisa saja lebih besar dua kali lipat dibandingkan data resminya.
Dalam World Ocean Conference 2018, PBB menargetkan tahun 2020 dunia harus terbebas dari praktik IUUF. Namun, hal tersebut mestinya justru menjadi peringatan keras bagi pemerintah Indonesia untuk waspada. Indonesia merupakan salah satu negara yang akan menjadi target dari para pelaku praktik IUUF untuk meregistrasikan kelegalan aktivitas kapalnya di perairan Indonesia dengan cara yang tidak dibenarkan.
Berbicara soal praktik IUUF pun tak hanya soal pencurian ikan semata. Karena di dalamnya, juga terdapat perbudakan terhadap ABK kapal, human trafficking, perdagangan satwa dilindungi, hingga jual beli minyak. Semua kegiatan ilegal tersebut dilakukan di tengah lautan.
“Mereka dari Indonesia juga ambil kura-kura, burung, kulit buaya dan lain-lain, mereka juga membawa barang-barang dan diperdagangkan di tengah laut. Economically ini very dangerous,” ujar Susi.
Menurut Kepala Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla), Laksamana Madya TNI Aan Kurnia, ancaman IUUF di Indonesia terkait registrasi kapal-kapal ilegal di depan mata. Kejahatan yang terkait dengan praktik IUUF, selain perbudakan dan overfishing, juga perusakan lingkungan, money laundering, penyelundupan, dan konflik di lautan. Sedangkan kejahatan praktik IUUF yang terjadi di Indonesia, menurut Arif Satria, Rektor IPB, rata-rata mencakup pemalsuan dokumen, bongkar muat di laut lepas (transhipment), tak memiliki dokumen izin, melanggar izin, serta berbendera ganda. Di lapangan, ungkap Susi, bahkan ditemui kapal yang memiliki lebih dari 20 bendera yang digunakan untuk mengelabui petugas patroli.
Jika dilihat dari pola perilaku pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal asing pada 2015-2019, CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Mas Achmad Santosa, menjelaskan bahwa titik rawan pencurian ikan di Indonesia tersebar di 6 wilayah, yakni di perairan Samudera Hindia sebelah barat Sumatera, yaitu Laut Natuna Utara (Laut Cina Selatan), Laut Natuna, dan Perairan Selat Karimata (yang terdapat wilayah overlapping atau wilayah konflik dengan Vietnam), serta Teluk Tolo dan Laut Banda. Lalu, di wilayah Indonesia Timur, wilayah rawan terdapat di perairan Teluk Cenderawasih dan Samudra Pasifik, Perairan Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera, serta Perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur.
“Kapal-kapal asing rata-rata bergerak dengan kecepatan di bawah 3 knot. Pergerakan yang lambat itu mengindikasikan adanya kegiatan IUUF di wilayah ZEE kita,” ujar Mas Achmad.
Ia juga melanjutkan, dengan indikasi tersebut, wilayah perairan Indonesia sangat membutuhkan kehadiran patroli rutin oleh kapal-kapal pengawas baik dari KKP, Bakamla, maupun TNI AL. Sementara, Susi menjelaskan bahwa strong leadership dan policy yang tegas dari pemerintah akan memperkecil kesempatan para pelaku IUUF untuk melakukan praktik ilegal di wilayah laut Indonesia yang berpotensi besar merugikan negara.
Sejak diberlakukannya kebijakan moratorium izin kapal asing 2014 lalu, Mas Achmad memaparkan hasil survei di 12 pelabuhan di Indonesia yang menunjukkan produktivitas kapal-kapal Indonesia di bawah 100 gross tonnage mengalami peningkatan. Bahkan, di Sorong, Papua peningkatan produktivitas meningkat hingga 56% dan di Ambon, Maluku meningkat 48%. Artinya, perlu kebijakan tegas dari pemerintah untuk mengamankan wilayah laut Indonesia sehingga pelaku tak berani melakukan praktik IUUF. Dengan demikian, nelayan-nelayan Indonesia dapat menikmati hasil laut di wilayah laut negaranya sendiri. Tugas pemerintah adalah melindungi nelayan kecil dan mendorong nelayan besar sehingga menjadi lebih produktif.
Susi pun mengingatkan bahwa hasil yang dipetik sejak pemberlakuan moratorium izin kapal asing tahun 2014 tentu tidak akan ada artinya jika pemerintah saat ini tidak melanjutkannya dengan kebijakan tegas yang sifatnya melindungi wilayah laut Indonesia. Sayangnya, revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini tentang Usaha Penangkapan Ikan dan Produktivitas Kapal Penangkap Ikan mengizinkan kembali alat penangkap ikan tak ramah lingkungan seperti trawl dan cantrang, yang digunakan kapal-kapal raksasa penangkap ikan. Hal ini akan menjadi gerbang kembalinya berbagai ancaman di wilayah laut Indonesia. Termasuk rusaknya ekosistem laut, terpuruknya nelayan kecil akibat berkurangnya hasil tangkapan, dan kembali maraknya praktik IUUF. Tanpa kebijakan pemerintah yang tegas, masa depan laut Indonesia akan menghadapi ancaman serius.
“Laut sangat penting untuk Indonesia. Ikan adalah sumber protein untuk anak-anak bangsa yang sangat penting karena murah. Ikan penting untuk menciptakan sumber daya manusia yang bisa bersaing dengan negara tetangga. Hal ini harus menjadi pemikiran para pemimpin dan politisi bahwa kita punya ratusan juta orang yang membutuhkan protein, dan yang termurah adalah ikan,” Susi menegaskan.
Editor: Leo Wahyudi