Untuk memasuki Sarawandori, Distrik Kosiwo, Kepulauan Yapen, Provinsi Papua, kami memasuki jalan pinggiran gunung karang yang sengaja dipangkas sebagai akses keluar-masuk. Di samping kanan tebing karang, sebelah kiri jurang. Di jalan berkelok menurun, tampak jelas teluk yang tenang dengan laut warna biru pirus dan rumah-rumah kayu yang berdiri di tepiannya.
Sebelum ada akses jalan tersebut, warga harus naik perahu untuk pergi ke pasar. Sekarang, cukup dengan uang Rp10.000, warga sudah bisa duduk manis di angkutan trans desa yang akan membawa mereka ke kota.
Lokasi permukiman ini menguntungkan saat musim barat tiba. Ketika musim angin kencang ikan-ikan akan berkumpul di teluk sehingga nelayan mudah mendapat tangkapan. Kampung ini juga punya rumput laut yang bibitnya berasal dari tempat yang jauh, yakni Takalar, Sulawesi Selatan. Oleh warga Sarawandori, bibit-bibit rumput laut itu dibudidayakan dan diolah menjadi mi, camilan stik, hingga bakso rumput laut. Sayangnya saat ini rumput laut tidak lagi menghasilkan keuntungan yang tetap. Pemasaran memang masih menjadi kendala utama. Tapi, selain hasil laut dan budidaya rumput laut, Sarawandori juga punya sumber pemasukan lain, yakni tujuan wisata populer, Teluk Karopai.
Baca juga: Bermula Senso, Berakhir Swafoto (Bagian 1)
Dahulu, masyarakat suku Onate penghuni Sarawandori bermukim di pedalaman hutan Yapen. Beragam fenomena alam akhirnya memaksa mereka untuk menggeser tempat tinggal ke pesisir. Dari peristiwa itulah nama Sarawandori berasal. “Sarawa” berarti “lari” dalam bahasa Onate, sementara “wandori” berarti “berkumpul”. Waktu berjalan, kini Sarawandori sudah dimekarkan menjadi dua kampung, yakni Sarawandori 1 dan Sarawandori 2.
Tim EcoNusa COVID-19 Response mengunjungi kampung yang berjarak 10 kilometer dari Kota Serui, pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Yapen itu, guna mendukung ketahanan pangan selama pandemi di sana. Tim memberikan sepatu bot, sprayer, pupuk, cangkul, dan beragam bibit sayur; serta alat-alat medis seperti APD, sarung tangan, face shield, perangkat rapid test, dan masker medis.
Kamis, 12 November 2020, pukul 10.00 WIT, di Kampung Sarawandori 2 sudah berkumpul sekitar 30 orang di balai pertemuan warga. Salah seorang di antaranya adalah Naomi Yapanami. Usianya 53 tahun, dengan penglihatan yang sudah menurun. Naomi duduk di kursi paling depan mendengarkan penyuluhan pertanian dari Utreks Hembring, mentor pertanian dari EcoNusa.
Naomi begitu antusias menyimak. Sebab hari-harinya memang diisi dengan menanam sayur dan menjualnya ke pasar. Ia punya dua kebun yang ditanami terong, cabai, mentimun, dan jagung. Jarak antara rumah dan kebunnya tak main-main. Untuk menggarap lahannya, Naomi mesti melewati dua gunung untuk berjalan kaki selama dua jam.
Dalam penyuluhan itu, Naomi berkeluh kesah soal hama ulat. Selama ini ia hanya menggunakan pestisida yang dibelinya di toko pertanian dan itu pun tak mempan.
“Kalau sudah begitu, mama pasrah saja. Ambil yang masih bisa dipanen, lalu jual ke pasar,” ceritanya.
Baca juga: Bibit Tanaman untuk Kampung Rufases dan Seya
Kedatangan tim EcoNusa COVID-19 Response diharapkan dapat menyokong perjuangan masyarakat Sarawandori, termasuk Naomi yang terus-menerus berupaya mengenyahkan hama ulat di kebunnya.
Dalam sambutan acara, Kepala Kampung Sarawandori 2 Michael Karuba berkata bahwa kegiatan bersama EcoNusa ini adalah berkat dari Tuhan. Di tengah-tengah kondisi serba sulit ini, mereka bersyukur mendapat sokongan untuk mengolah kebun. Pengetahuan dan alat yang mereka terima akan sangat berguna bagi kehidupan Sarawandori.
“Kami ini bisa dikatakan amfibi. Kami bisa mengolah daratan dan (bisa) mengolah lautan. Jadi tidak ada alasan untuk takut menghadapi kondisi pandemi,” kata Michael.
Editor: V. Arnila Wulandani & Leo Wahyudi