Indonesia baru saja memperingati Hari Kemerdekaan yang ke-75. Idealnya, di usia kemerdekaan yang tak lagi dapat dikatakan muda ini, negara menjamin penuh kemerdekaan hak-hak setiap warga negara Indonesia. Tak terkecuali hak-hak masyarakat adat yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun kenyataannya, kemerdekaan Indonesia yang sudah mencapai 75 tahun ini belum juga mampu memerdekakan hak-hak masyarakat adat seutuhnya. Padahal, UUD 1945 pasal 18B ayat 2, jelas menyatakan negara Indonesia mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya. Sedangkan UUD 1945 pasal 28I ayat 3 menyatakan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban.
Ironisnya, kedua pasal tersebut tak dapat membendung perampasan hak-hak masyarakat adat, eksploitasi wilayah adat, pelanggaran oleh korporasi-korporasi besar terhadap hak masyarakat adat, hingga kriminalisasi masyarakat adat yang masih saja terus terjadi. Akibatnya, masyarakat adat menjadi pihak yang seringkali dirugikan, baik dari segi material, hilangnya hak pengelolaan sumber daya alam, hingga punahnya kelestarian lingkungan wilayah adat, budaya dan nilai spiritual.
Sebagai contoh, kawasan hutan di Merauke dan Boven Digoel, Papua yang dialihkan menjadi kebun sawit 2019 lalu telah menggusur sumber pangan masyarakat adat, mulai dari dusun sagu, tempat berburu hewan liar, hingga tempat-tempat yang disakralkan oleh masyarakat adat setempat. Atau yang paling segar di ingatan kita adalah kasus Laman Kinipan di Lamandau, Kalimantan Tengah, dimana seorang tokoh masyarakat adat ditangkap karena memperjuangkan hutan di wilayah adatnya.
Baca juga: Ranperdasus Protokol Investasi Mencerminkan Komitmen Pembangunan Berkelanjutan di Tanah Papua?
Kasus di atas hanyalah contoh kecil dari banyaknya kasus serupa yang dialami masyarakat adat yang tidak diketahui publik. Merespon maraknya ketidakadilan yang terus dialami masyarakat adat, koalisi 30 CSO (Civil Society Organization) dan masyarakat sipil, mengawal dan mendesak agar pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang belum menemui titik terang sejak periode 2009-2014 silam. Dalam hal ini, Yayasan EcoNusa merupakan salah satu dari koalisi yang bergabung untuk mendorong segera disahkannya RUU Masyarakat Adat tersebut.
“Sebetulnya yang didorong oleh koalisi CSO dan masyarakat sipil kawal RUU Masyarakat Adat ini adalah mengenai identitas legal (masyarakat adat) agar diakui dan dikenali oleh masyarakat lain serta disahkan oleh negara,” ungkap Dewi Rizki, Direktur Program Sustainable Governance Strategic Kemitraan Indonesia, pada Talkshow RUU Masyarakat Adat #SahkanRUUMasyarakatAdat yang diselenggarakan virtual 9 September 2020 lalu. Acara ini tujuannya agar mendapat tanggapan, masukan, dan kesepakatan bersama terkait draft RUU Masyarakat Adat.
Menurutnya, pengakuan tak hanya soal pengakuan obyektif dan tak hanya melalui peraturan semata tetapi juga perlu pengakuan subyektif. Untuk itulah, ada 6 hak masyarakat adat yang perlu menjadi perhatian khusus terkait RUU Masyarakat Adat. Keenam hak itu antara lain hak atas wilayah adat, hak atas budaya spiritual, hak perempuan adat, hak anak dan pemuda, hak atas lingkungan hidup, serta hak untuk menyetujui di awal tanpa paksaan.
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN mengatakan, RUU Masyarakat Adat harus menjadi jembatan antara masyarakat adat dan negara, sehingga masyarakat adat menjadi bagian utuh dari negara Indonesia dan negara hadir untuk melindungi.
“Dengan demikian, tak ada lagi pembangunan yang dipaksakan. Tidak ada lagi kawasan konservasi yang penuh makanan tapi masyarakat adat di sekitarnya kelaparan. Paradigma pembangunan ekonomi yang diserahkan kepada investor menjadi tidak feasible karena masyarakat adat tidak dihitung. Padahal kontribusi masyarakat adat, apalagi selama pandemi, besar sekali,” ungkap Rukka.
Draft RUU Masyarakat Adat yang ada saat ini pun dinilai masih jauh dari harapan karena masih belum mampu menjawab permasalahan terkait masyarakat adat.
“Perlu untuk menambahkan klausul restitusi dan rehabilitasi terkait pemulihan terhadap pelanggaran hak masa lalu, yang bisa dilakukan lewat peraturan presiden atau peraturan pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan lewat lembaga yang permanen,” tambah Rukka.
Draft RUU tersebut juga dinilai masih mengandung pasal-pasal yang dianggap dapat merugikan dan mempersulit masyarakat adat. Misalnya, pasal evaluasi terhadap masyarakat adat yang bertentangan dengan semangat UUD 1945. Masyarakat adat sejatinya telah lebih dulu ada sebelum negara terbentuk. Juga soal proses penetapan masyarakat adat yang panjang dan berbelit.
Selain itu, persoalan muncul karena ego sektoral antarlembaga pemerintah serta tidak adanya sinkronisasi dan koordinasi antarkementerian terkait penetapan RUU Masyarakat Adat. Akibatnya penetapan kesatuan masyarakat hukum adat menjadi desa adat pun menemui kendala.
Aferi Syamsidar Fudail, Plt Kasie Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri, mengungkapkan pihaknya terkendala oleh lambatnya respon pemerintah daerah dalam melaporkan eksistensi wilayah-wilayah adatnya ke pemerintahan pusat. Padahal sudah diterbitkan Permendagri No. 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
“Kami membuka ruang kepada pemerintah daerah untuk mengenali wilayah-wilayah yang sudah punya kode desa dan bercirikan masyarakat hukum adat, sehingga jika sudah dipastikan (lokasi) wilayah adatnya, masyarakat hukum adat bisa segera memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayahnya. Hal ini sebagai penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Hukum Adat oleh negara,” ujar Aferi.
Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional, mengatakan, Permendagri No. 52 Tahun 2014 adalah hasil kesepakatan lintas kementerian dan lembaga yang prosesnya difasilitasi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Tujuannya untuk menerobos biaya yang sangat besar dan proses politik yang rumit di tingkat daerah. Ini bisa dilakukan dengan SK Bupati atau SK Gubernur untuk penetapan keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Hasil kesepakatan ini semestinya diikuti oleh semua pihak terkait, tak terkecuali KLHK.
Melalui perwakilannya yang hadir dalam talkshow, pemerintah yang diwakili oleh Kementerian ATR/BPN RI, Kementerian Sosial, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan pun menyatakan dukungannya dalam percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat.
Siaran pers Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat menyebutkan penyusunan RUU Masyarakat Adat bersama masyarakat semestinya menjadi prioritas DPR RI saat ini demi terwujudnya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta seluruh hak konstitusionalnya. Usulan dari koalisi ini bukan saja dapat membantu DPR RI dalam proses penyusunan, melainkan juga untuk membangun demokratisasi rakyat dalam pembentukan perundang-undangan yang lebih baik.
“Menunda-nunda pengesahan RUU Masyarakat Adat berarti negara telah gagal melindungi masyarakat adat,” pungkas Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.
Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari 30 organisasi yaitu AMAN, BRWA, Debtwatch Indonesia, Epistema, Forum Masyarakat Adat Pesisir dan pulau-pulau kecil, HuMa, ICEL, JKPP, Kalyanamitra, KIARA, Kemitraan, Koalisi Perempuan Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Lakpesdam, Yayasan Madani Berkelanjutan, Lokataru, merDesa Institute, PEREMPUAN AMAN, Protection International Indonesia (YPII), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, RMI, Sawit Watch, Satu Nama, Walhi, Yayasan Jurnal Perempuan, YLBHI, BPAN, Kaoem Telapak, KP-KKC Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), dan Yayasan EcoNusa.
Peninjau: Cindy J. Simangunsong
Editor: Leo Wahyudi