Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Peran Nyata Karbon Biru Papua Mengendalikan Emisi Dunia

Bagikan Tulisan
Ekosistem mangrove di Kampung Kambala, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Kei Miyamoto)  

Pemanasan global menyebabkan perubahan iklim dan menimbulkan cuaca ekstrim yang berdampak bagi masyarakat luas di dunia, termasuk Indonesia. Hujan tak beraturan, banjir dan longsor serta kekeringan di banyak tempat merupakan contoh-contoh nyata perubahan iklim yang terasa di masyarakat termasuk di Tanah Papua. Banjir dan longsor di Pegunungan Cyclop di Sentani, Papua, pada 13 Maret 2019 adalah contoh nyata. Bencana itu menelan nyawa 113 orang dan diperkirakan kerugian mencapai 506 milyar rupiah. Kejadian tersebut menjadi topik pembelajaran dalam kegiatan School of EcoDiplomacy yang diselenggarakan pada 12-15 November 2019. Setidaknya topik ini dapat membangun kesadaran 22 pemuda kota di Provinsi Papua tentang dampak perubahan iklim yang merugikan akibat ulah manusia. 

Perubahan iklim disebabkan oleh peningkatan kadar gas-gas rumah kaca (terutama CO2) yang dihasilkan dari kegiatan manusia (anthropogenic caused) di muka bumi ini. Penyebab utamanya adalah pembakaran bahan bakar fosil yang melepaskan gas-gas karbon dioksida (karbon coklat). Penyebab kedua adalah emisi (pelepasan) akibat pembukaan lahan atau pembabatan hutan alami, kebakaran hutan, serta emisi dari aktivitas pertanian termasuk peternakan (yang melepas gas metana). Penyebab ketiga adalah penurunan kemampuan ekosistem alami untuk menyerap, mengikat dan menyimpan karbon melalui proses fotosintesis (karbon hijau). Tiga penyebab tersebut berkontribusi paling besar dalam penumpukan emisi di atmosfer. 

Terkait dengan penyebab terakhir, karbon biru seringkali dilupakan perannya sebagai penyimpan karbon (carbon pool) dan penyerap karbon (carbon sequester). Karbon biru adalah karbon yang diserap ekositem mangrove, rawa payau dan padang lamun. Karbon yang diserap dan disimpan oleh organisme lingkungan laut ini tersimpan dalam bentuk sedimen. Karbon tersebut dapat tertimbun dalam jumlah besar tidak hanya selama puluhan tahun atau ratusan tahun seperti halnya karbon di ekosistem hutan, mineral dan gambut, tetapi selama ribuan tahun.

Dikutip dari fact sheet “Indonesia Blue Carbon Strategy Framework (IBCSF)”, dengan luas areal 3,2 juta hektare, mangrove di Indonesia menjadi areal mangrove terluas di dunia. Ini termasuk mangrove Bintuni, Papua Barat (259,1 ribu hektare) yang berpotensi menyimpan karbon sebesar 950 MgC per hektare. Data yang sama menunjukan bahwa potensi total penyimpanan karbon biru di Indonesia adalah sebesar 3,4 gigaton atau setara dengan 17% simpanan karbon biru secara global. Sedangkan menurut LIPI, potensi karbon biru terdapat dalam vegetasi pesisir (hutan mangrove, padang lamun, rawa payau, dan phytoplankton) yang menyimpan 77% karbon lebih banyak dibandingkan hutan. Khusus untuk padang lamun, LIPI menyatakan bahwa saat ini luasnya mencapai 293.464 hektare dan mampu menyerap karbon dioksida (CO2) sampai 1,9-5,8 mega ton (Mt) karbon per tahun.  

Menurut Jimmy F. Wanma, peneliti dari Universitas Papua (Unipa), potensi karbon biru di Tanah Papua sangat tinggi. Hasil Mangrove Expedition 2019 bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Papua Barat, Unipa dan WRI menyisir 1.000 kilometer jalur ekosistem pesisir di Kabupaten Kaimana, Fakfak, Bintuni, Sorong Selatan dan Raja Ampat. Ekspedisi ini mendata total luas mangrove sebesar 424,13 ribu hektare yang diperkirakan menyimpan karbon above ground biomass (AGB) sebesar 72,2 juta tCO2e. Angka tersebut setara dengan 2,5% dari total target penurunan emisi Indonesia di sektor lahan sampai 2030.

Ada 378.774 masyarakat pesisir di kabupaten-kabupaten yang dilalui ekspedisi tersebut. Mereka sangat bergantung pada ekosistem mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (susbsistem). Ekosistem pesisir termasuk ekosistem mangrove membentuk karbon biru. Ekosistem ini berperan sangat penting karena mampu meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam perairan pesisir, membantu memulihkan stok ikan, serta melindungi pesisir dari badai bencana cuaca ekstrim. Tindakan nyata di lapangan untuk mengonservasi dan merestorasi ekosistem pesisir dan pantai perlu digalakkan dengan menyatukan inisiatif yang digagas pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, universitas dan institusi lainnya.

Di dalam dokumen Paris Agreement hasil dari KTT Perubahan Iklim PBB (COP 21 UNFCCC) di Paris, Perancis, pada akhir 2015, menekankan peran karbon biru sebagai salah satu cara mengurangi emisi global. Meski telah disepakati, sampai sekarang peran karbon biru dinilai belum dimaksimalkan untuk menangani krisis iklim. Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang berpihak pada karbon biru untuk pengendalian perubahan iklim. Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir selaku Alternate Ketua Delegasi Republik Indonesia (Delri) pada Konferensi Perubahan Iklim 2019 yang berlangsung 17-27 Juni 2019 di Bonn, Jerman, menyatakan Indonesia akan memasukkan karbon biru pada mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai bagian dari target penguran emisi nasional (NDC) pada 2020.

Sejalan dengan hal tersebut, Peraturan Presiden No 73/2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove menjadi awal regulasi pengelolaan karbon biru di Indonesia. Bahkan Pemerintah Indonesia pada RPJMN 2020-2024 sudah menyertakan karbon biru melalui Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) sebagai penyerap emisi karbon. Saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang membangun kerangka kerja strategi kebijakan karbon biru (IBSF). Itu berada dalam payung rencana aksi nasional kebijakan kelautan Indonesia dan rencana aksi nasional tujuan pembangunan berkelanjutan 2020-2024. Oleh karena itu, untuk meningkatkan ambisi pengendalian perubahan iklim, pengkinian NDC harus memasukkan karbon biru sebagai salah satu upaya penurunan emisi Indonesia. 

Dengan demikian, tindakan nyata para pihak di lapangan dapat dicatat sebagai bagian yang berkontribusi terhadap penurunan emisi. Pelestarian ekosistem mangrove oleh masyarakat lokal diyakini menurunkan kerentanan dan memperkuat ketahanan, menjaga pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua. Di sisi lain, upaya mereka juga akan menjaga simpanan karbon biru yang sangat penting untuk menahan laju perubahan iklim yang saat ini sedang terjadi.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved