Tanah Papua yang menjadi benteng terakhir hutan tropis di Indonesia tak terbebas dari ancaman. Alih fungsi lahan menjadi salah satu ancaman yang membuat kawasan hutan di provinsi paling timur Indonesia itu terus berkurang. Padahal, Tanah Papua telah menjadi rumah bagi 20.000 spesies tanaman, 125 spesies mamalia, 223 reptil, dan 602 jenis burung yang hidup di Provinsi Papua Barat dan Papua.
Hasil penelitian Yayasan EcoNusa melalui studi pustaka (desktop study) mendapati bahwa hutan di Tanah Papua tak bebas dari ancaman deforestasi pada 2001 hingga 2018. Luas tutupan hutan di Tanah Papua mencapai 41,3 juta hektare hingga 2018. Dari luasan tersebut, hutan lahan kering primer mendominasi dengan luasan 18,7 juta hektare (45,26%), disusul hutan rawa primer seluas 6,07 juta hektare (14,68%) dan hutan lahan kering sekunder seluas 5,8 juta hektare (14,18%).
Total luas hutan di atas merupakan hasil penyusutan akibat deforestasi yang terjadi setiap tahunnya. Dalam rentang waktu 2001 hingga 2018, laju deforestasi rata-rata sebesar 51.527,71 hektare per tahun. Deforestasi tahunan menanjak naik sejak 2001 dari 2,4 persen menjadi 6,55 persen pada 2015. Kemudian perlahan menurun sampai 2018.
“Tanah Papua masih didominasi oleh tutupan hutan. Sayangnya ancaman yang datang tak bisa dipungkiri. Wilayah hutan dataran rendah dimanfaatkan industri berbasis lahan yang luas. Wilayah dataran rendah di selatan Tanah Papua menjadi target pengembangan perkebunan sawit. Di selatan adalah wilayah lempung, jika ditanam sawit tidak bisa kembali menjadi hutan,” kata Asep Adhikerana, salah satu peneliti dalam penelitian stok karbon dan deforestasi Tanah Papua, saat memaparkan hasil penelitiannya di Yayasan EcoNusa.
Selain itu, hasil penelitian menyebutkan bahwa deforestasi kawasan hutan tanpa izin konsesi lebih tinggi dibanding yang terjadi di dalam konsesi. Persentase deforestasi yang terjadi di luar konsesi 52,99 persen, sedangkan di dalam konsesi untuk pertaian atau perkebunan sebesar 29,28 persen. Menurut Asep, hal itu terjadi melalui penyalahgunaan perizinan dan aktivitas ilegal seperti pembalakan liar serta pertambangan tanpa izin.
Ancaman alih fungsi hutan ini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak. Pasalnya, Tanah Papua masih menyimpan stok karbon yang tinggi. Hasil perhitungan menggunakan data interpretasi citra satelit memperkirakan 5,5 giga ton stok karbon yang ada di Tanah Papua yang berasal dari hutan lahan kering primer dan sekunder, hutan rawa primer dan sekunder, hutan mangrove primer dan sekunder, belukar, semak belukar, belukar rawa, semak belukar rawa, serta semak. Hutan lahan kering menyimpan stok karbon paling tinggi sebesar 70,98 persen, sedangkan hutan lahan basah 26, 59 persen, dan non-hutan 2,42 persen.
Direktur Program Yayasan EcoNusa Muhammad Farid mengatatakan, menghentikan deforestasi di Tanah Papua dapat membantu Indonesia dalam memenuhi target kontribusi nasional (Nationally Determined Contributions) sesuai Perjanjian Paris. Lebih lanjut, Farid menyoroti keanekaragaman hayati yang hilang akibat deforestasi. Tanah Papua merupakan “rumah” bagi berbagai hewan endemik, ditambah berbagai flora yang memiliki berbagai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut.
“Stok karbon 5,5 giga ton adalah jumlah yang besar agar dipertahankan tersimpan di hutan Tanah Papua untuk membantu pemerintah mencapai target NDC dalam menurunkan emisi. Lalu di kawasan stok karbon tinggi, alih fungsi lahan akan membuat biodiversitas menghilang. Ini kerugian yang besar,” ujar Farid.
Koordinator Penelitian dan Geospasial Darkono Tjawikrama menuturkan, saat ini EcoNusa tengah bekerja sama dengan pemerintah Provinsi Papua Barat dalam meninjau izin penggunaan hutan. Selain menggunakan interpretasi citra satelit, tim peneliti juga meninjau langsung ke lapangan (ground check) serta melakukan flyover untuk melihat langsung perubahan tutupan hutan.
“Kalau diperlukan, kami juga bisa membantu Provisni Papua untuk meninjau penggunaan hutan,” ucap Darkono.
Editor: Leo Wahyudi