Masyarakat di Tanah Papua tak memandang alam semesta dengan kacamata antroposentris yang menganggap manusia sebagai pusat alam semesta. Jika pandangan ini diterapkan, lingkungan hidup hanyalah bagian dari salah satu alat untuk menunjang keberadaan manusia hingga mencapai kemakmuran. Bagi masyarakat di Tanah Papua, alam merupakan salah satu unsur semesta yang berkorelasi dengan kehidupan transendental.
Laku menghargai leluhur sekaligus menjaga alam sekitar diperlihatkan oleh masyarakat Kampung Kambala, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat, kepada tim Ekspedisi Mangrove EcoNusa 2019 melalui upacara Sinara. Sinara merupakan upacara persembahan kepada tete-nene moyang sebagai bentuk doa dan rasa syukur. Sinara juga menjadi simbol permohonan izin masyarakat kepada leluhur sebelum melakukan sesuatu. Bagi masyarakat Kampung Kambala, alam dan sumber daya di dalamnya bukanlah hak mutlak manusia yang mendiami bumi.
Upacara Sinara dilangsungkan dengan menyuguhkan sirih, pinang, beras, rokok, dan uang logam. Bahan-bahan ini merupakan bagian kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahan-bahan tersebut dibalut kain putih dan dihidangkan menggunakan piring putih. Untuk memohonkan izin bagi Tim Ekspedisi Mangrove EcoNusa, bahan tersebut dilarung di air dan diiringi doa yang dipimpin oleh salah satu kepala petuanan.
Ekspedisi Mangrove EcoNusa 2019 bertujuan untuk memetakan sebaran hutan mangrove di Papua Barat sambil mengidentifikasi kemungkinan adanya spesies baru. Tim Ekspedisi juga memetakan potensi pemanfaatan mangrove secara berkelanjutan yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Ekspedisi Mangrove dilakukan berkat kerja sama Yayasan EcoNusa dengan Universitas Papua dan Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Papua Barat.
“Saya dan Ari mencari kain putih dan piring putih ke Kota Kaimana. Kami ke sana malam-malam sebelum Sinara dilangsungkan keesokannya. Ketika melarung Sinara, pemimpin marga lain juga mengikuti,” kata Ocean Program Manajer Yayasan EcoNusa Wiro Wirandi.
Ratna Patriana dalam tesis berjudul Dinamika Sasi Kaimana: Perubahan Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut Tradisional (IPB, 2017) mengatakan bahwa tradisi pemasangan Sinara kerap dilakukan untuk berbagai kegiatan, seperti penebangan pohon, pembangunan rumah, pembuatan perahu, pembukaan kebun, yang masih dilakukan oleh masyarakat. Menurut Ratna, Sinara dilakukan sebagai bentuk pengganti nyawa yang hilang akibat kegiatan manusia, seperti pembuatan perahu.
Menurut Ratna, Sinara merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Papua dalam pemanfaatan sumber daya alam, yang bermakna bahwa setiap kegiatan perubahan lansekap alam, sekecil apapun, adalah hal yang tidak dapat disepelekan.
Ratna mencatat upacara Sinara juga dilakukan saat ada pemasangan dan penutupan sasi. Pada saat melakukan sasi, selain bahan-bahan yang telah disebutkan di atas, masyarakat memberikan hasil bumi lainnya, seperti ayam dan telur.
Dalam kesempatan yang berbeda, delapan suku asli Kaimana melakukan upacara Sinara saat menyerahkan pengelolaan laut kepada pemerintah Kabupaten Kaimana. Mereka terusik oleh kehadiran kapal dari luar Kaimana yang mengeksploitasi kekayaan laut. Kapal-kapal tersebut melanggar sasi yang telah disepakati masyarakat.
“Sejak nenek moyang, kita mengenal konservasi yang biasa disebut sasi adat. Tapi ini banyak dilanggar kapal-kapal dari luar dan kita tidak dapat berbuat apa-apa karena kekalahan teknologi. Sekarang kita serahkan semua kewenangan seluruh wilayah laut milik masyarakat kepada Pemkab untuk dijadikan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) atau secara adat kita sebut sasi besar,” kata Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Kaimana, Marthen Feneteruma, seperti dikutip Kompas.com.
Editor: Leo Wahyudi