Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) melakukan kajian penelitian sampah plastik dan mikroplastik di pesisir dan laut Indonesia. Kajian ini dilakukan dari tahun 2017-2018 setiap bulannya. Berdasarkan perhitungan kasar dengan asumsi sederhana diperkirakan 100.000 – 400.000 ton plastik pertahun yang dikonsumsi masyarakat Indonesia masuk ke laut Indonesia.
Peneliti P2O LIPI M Reza Cordova menjelaskan bahwa sampah plastik menjadi ancaman terbesar lingkungan. “Dulunya permasalahan sampah hanya karena permasalahan estetika. Sekarang jelas bahwa sampah plastik menjadi ancaman terbesar,” ujar Reza saat ditemui dalam acara Ekspose Coremap CTI di Ancol, Jakarta (12/12/2018).
Beberapa wilayah pesisir dan pantai Indonesia yang dijadikan wilayah kajian diantaranya: 18 pantai area monitoring untuk pemantauan sampah terdampar; 13 area untuk sampling mikroplastik di permukaan air; 8 lokasi untuk kajian mikroplastik di sedimen; dan satu kajian genus ikan (Stolephorus sp) di 10 lokasi se Indonesia.
Reza menerangkan bahwa jenis sampah yang banyak ditemukan dari seluruh area monitoring kajian adalah kategori plastik dan karet, logam, kaca, kayu (olahan), kain, serta bahan berbahaya lainnya. Sampah plastik juga dominan berasal dari jenis plastik sekali pakai (36-38%).
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa mikroplastik hampir ditemukan di seluruh lokasi kajian. Baik pada permukaan air, sedimen maupun pada tubuh ikan. Adapun 13 lokasi kajian pesisir Indonesia yang ditemukan mikroplastik antara lain di Aceh, Bintan, Sumatera Selatan (Muara Sungai Musi), Teluk Jakarta, Semarang, Lombok, Banjarmasin, Manado, Makassar, Bitung, Minahasa Utara, Biak dan Wakatobi.
Mikroplastik terbanyak ditemukan di permukaan air Sulawesi Selatan dan Teluk Jakarta (7.5-10 partikel per m3). Pada sedimen ditemukan >100 partikel per kg yaitu di Aceh, Sulawesi Selatan dan Biak. Sedangkan mikroplastik ditemukan antara 58-89% pada Ikan teri (Stolephorus sp) 0.25-1.5 partikel per gram.
Reza mengungkapkan kepadatan penduduk menjadi salah satu faktor banyaknya timbunan sampah plastik dan mikroplastik yang tersebar di lingkungan sekitar. “Ada korelasi positif antara kepadatan penduduk dengan permasalahan sampah plastik di lingkungan kita,” katanya. Selain kepadatan penduduk faktor pendukung lain yaitu manajemen lingkungan suatu daerah yang tidak baik, dan adanya trans boundary debris.
“Meskipun pulau Jawa dari segi kepadatan penduduk lebih banyak, tetapi penemuan permasalahan sampah paling banyak ditemukan di wilayah Sulawesi. Kemungkinan faktor manajemen lingkungan Sulawesi tidak sebaik yang ada di pulau Jawa. Disamping itu adanya trans boundary debris, artinya sampah yang berasal dari Samudra Pasifik atau dari luar Indonesia masuk ke pantai-pantai di perairan Sulawesi,” kata Reza.
Menurut Reza agak berat untuk membuktikan sumber sampah. “Semua ini masih membutuhkan kajian lanjutan. Kita hanya meneliti seberapa banyak jumlah sampah yang dihasilkan, bukan melihat dari asalnya,” ungkapnya.
Adanya penemuan mikroplastik ini dikhawatirkan masuk ke dalam tubuh manusia. “Sudah ada mikroplastik dari biota yang kita konsumsi. Kita sudah coba kalkulasi per kapitanya dari makan ikan, kerang-kerangan dan lain-lain. Dalam satu tahun, per kapitanya satu orang mengkonsumsi 500-1500 partikel dalam sekali makan,” ungkapnya. Namun menurut Reza jumlah tersebut masih lebih sedikit dibandingkan dengan mikroplastik yang terdapat di baju atau pakaian yang dikenakan oleh manusia.
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti dampak penumpukan kandungan mikroplastik dalam tubuh manusia. “Mikroplastik yang masuk ke tubuh manusia ini masih menjadi kontorversi tersendiri. Sebagian ada yang bilang berbahaya, sebagian lagi bilang tidak. Namun perlu diketahui ketika plastik sudah masuk ke dalam tubuh maka plastik tersebut membawa polutan dan bakteri,” kata Reza.
Ditemui di tempat yang sama Kepala Pusat Oseanografi LIPI, Dirhamsyah mengatakan, perlunya peran seluruh pihak, dari pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, pihak swasta dan industri serta LSM untuk mengurangi konsumsi plastik. “Pemerintah harus mulai galak dalam menangani permasalahan laut ini. Karena permasalahan plastik ini jelas sudah menjadi masalah besar bagi masyarakat dunia, bukan hanya di Indonesia saja. Plastik bagi kita itu adalah masalah dan harus diperangi,” pungkas Dirhamsyah.