Memaknai hutan sebagai rumah menjadi refleksi terhadap keadaan dewasa ini. Sebagai bagian dari keistimewaan di Indonesia, kian lama hutan menjelma tanaman homogen bahkan dari tanahnya kini tumbuh bata terpoles semen. Memang betul jikalau pemanfaatan hutan sudah terbagi dan tertulis secara sistematis sesuai peruntukannya tetapi “istimewa” itu menjebak dan membuat kita merasa di atas angin. Menjaga hutan bukan sekedar memberi pagar, menempatkan serdadu, atau bahkan menghukum orang tua renta yang masuk sekedar menggendong patahan cabang kayu untuk menanak nasi. Lebih jauh dari itu, menjaga hutan berarti melestarikan seluruh komponen di dalamnya termasuk habitat yang melekat. Pelajaran sekaligus pemahaman tentang rantai makanan perlu kita bersama buka kembali, mengapa hewan buas ada, mengapa spora ada, dan seterusnya. Memang membuat baru selalu lebih mudah dan menjadi solusi terbaik dibandingkan merawat atau memperbaiki. Banyaknya gerakan menanam pohon misalnya lebih banyak diadakan dibandingkan gerakan merawat pohon-pohon yang sudah ditanam sebelumnya. Ketika hutan metamorfosis menjadi lahan dan tak sedikit terjadi gesekan dengan cepat kita mencari “siapa” bukan “apa” inilah salah satu hal sederhana yang sering kita abaikan dan terus berulang. Memang sudah banyak individu yang sadar, yang dulu pemalak hutan, dulu pemburu kini menjadi lantang bersuara untuk menjaga hutan tetapi kita masih butuh lebih banyak lagi individu yang peduli hal tersebut. Bergerak bersama dengan latar belakang yang majemuk untuk satu capaian yang sama, menciptakan kembali taman eden untuk habitat cenderawasih dan ratusan ribu flora dan fauna endemik.
Dukung EcoNusa dan Cornell Lab of Ornithology dalam kampanye #DefendingParadise untuk menyuarakan pelestarian hutan-hutan di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku. Kalau bukan kita, siapa lagi?