Deforestasi masih menjadi masalah serius yang harus ditangani bersama-sama oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Efek yang ditimbulkan dari deforestasi demikian besar, mulai dari perubahan iklim ekstrim, peningkatan massa air laut, yang memicu terjadinya bencana alam seperti tanah longsor dan banjir.
Berbagai cara dapat dilakukan demi menghentikan laju deforestasi tersebut. Baru-baru ini terdapat sebuah gerakan baru untuk menghentikan laju deforestasi, yaitu pendekatan yurisdiksi atau jurisdictional approach (JA).
Manajer Perhutanan Sosial dan Transformasi Konflik WRI Indonesia, Rakhmat Hidayat, mengatakan, JA bisa menjadi pendekatan baru yang melibatkan banyak pihak dalam mengelola suatu ekosistem.
“JA ini bisa menjadi pendekatan baru yang melibatkan banyak pihak bertanggung gugat, transparan, dan yang paling penting lagi inklusif. Karena hampir semua proses ini dibangun dengan melibatkan masyarakat dan penerima manfaat utama harus mereka,” ucap Rakhmat dalam diskusi virtual EcoNusa bertajuk “Pendekatan Yurisdiksi dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berkelanjutan” pada Senin (18/01/2021).
Menurut Rakhmat, kita juga harus meyakini bahwa masyarakat adat mampu terlibat dalam upaya perencanaan pembangunan daerah, karena bentuk keterlibatan masyarakat adat di dalam pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan cukup besar.
Hal tersebut mencakup inisiasi skema perhutanan sosial mengenai batas wilayah, subjek, dan dukungan para pihak. Pemetaan wilayah adat termasuk sumber daya alam hutan di dalamnya. Hal ini juga memberikan input dan teladan pemanfaatan sumber daya hutan berdasarkan praktik adat sehingga masyarakat dapat terlibat dalam pengawasan kawasan hutan serta penanganan konflik.
Kepala Sekretariat Lintas Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Gita Syahrani, menjelaskan alasan JA bisa menjadi suatu langkah yang dapat menghentikan laju deforestasi. JA memiliki tiga karakter, yaitu berbasis wilayah administrasi, gotong royong multipihak dengan fasilitasi pemerintah, lintas sektor, dan lintas komoditas. JA harus dipimpin oleh pemerintah karena harus difasilitasi oleh pemerintah.
“Pendekatan yurisdiksi memiliki empat elemen utama. Yang pertama adalah dokumen perencanaan, kemudian ada kerangka peraturan, kelembagaan multipihak untuk mengatur prioritas bersama, dan terakhir ada juga untuk pemantauan dan pelaporan. Dalam empat elemen tersebut yang menjadi roda penggeraknya adalah kolaborasi atau gotong royong,” ucap Gita.
JA memerlukan partisipasi aktif multipihak yang melibatkan pemerintah dan masyarakat. Masyarakat itu mencakup petani dan komunitas lokal , agrobisnis berskala besar, masyarakat sipil, dan pembeli komoditas atau konsumen.
Dengan partisipasi aktif dari masyarakat dan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam dan tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan diharapkan akan mengurangi laju deforestasi sehingga dapat tercapai tujuan dalam pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan.
Penasihat Senior untuk Iklim & Penggunaan Lahan di The David and Lucile Packard Foundation, Joko Arif, mengatakan bahwa ada satu hal yang perlu dipahami dalam implementasi JA ini, yaitu soal pintu masuk atau entry point.
Menurut Joko, JA tidak bisa tiba-tiba datang dan menjawab semua masalah. Maka dari itu, dalam implementasi JA, banyak organisasi yang melihat terlebih dahulu dari mana pintu masuk kerja sama dengan pihak pemerintah dan pihak di daerah. “Maka dari itu, daripada kita memaksakan isu yang ingin kita dorong sebagai pintu masuk JA ke pemerintah dan pihak di daerah, lebih baik kita tanya dulu apa yang menjadi konsentrasi dan bisa kita bantu. Tanpa pintu masuk dari pemerintah dan pihak di daerah maka akan sulit sekali bagi JA untuk masuk,” lanjutnya.
Ia berpendapat, belum tentu isu yang ingin didorong ke pemerintah dapat diterima pihak lain. Maka dari itu, hal pertama yang harus dilakukan dalam konteks implementasi JA adalah mengecek seberapa besar komitmen Pemerintah Daerah mengenai isu tersebut. Suatu organisasi masyarakat harus tahu permasalahan bisnis yang dialami oleh pemerintah daerah sehingga bisa turut mendorong implementasi JA.
Editor: Leo Wahyudi & V. Arnila Wulandani