Berbagai upaya melindungi hutan primer di Indonesia sejatinya merupakan usaha kolektif menyelamatkan manusia dari berbagai masalah ekologis agar tidak mengalami kepunahan. Kelestarian hutan adalah salah satu faktor penting dalam menunda hingga menghentikan laju pemanasan global yang sudah semakin mengkhawatirkan.
CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar mengatakan bahwa penebangan hutan atau deforestasi menyumbangkan 30 persen emisi gas rumah kaca secara global. Jika deforestasi tak dapat dikendalikan, perubahan iklim yang terjadi akibat pemanasan global akan berdampak pada setiap aspek kehidupan masyarakat.
“Nelayan dulu bisa tahu dengan pasti kapan melaut atau tidak. Sekarang sudah tidak pasti. Teman-teman yang tinggal di Jakarta mungkin bisa melihat bagaimana pesisir Jakarta semakin hari semakin terkikis karena naiknya permukaan air laut. Jadi ini sebenarnya bukan cerita tentang hutan saja, tapi bagaimana kita bisa tetap selamat,” kata Bustar dalam diskusi virtual yang bertajuk “Tanah Papua: Benteng Terakhir Hutan Tropis Dunia” pada Jumat (21/8/2020).
Bustar menyebut bahwa Tanah Papua merupakan benteng terakhir hutan hujan tropis di Indonesia. Hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi telah terkikis akibat alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan dan pertambangan.
Selain itu, hutan hujan tropis di Tanah Papua merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati flora tertinggi di dunia. Publikasi jurnal Nature menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 13.000 spesies flora di mana 9.000 spesies diantaranya adalah spesies endemik. Jumlah tersebut menggeser posisi Madagaskar dengan 11.488 spesies yang sebelumnya menempati urutan pertama.
Tidak hanya kekayaan flora saja, Tanah Papua juga memiliki berbagai macam jenis fauna. Setidaknya terdapat 716 jenis burung, 125 mamalia, dan 223 reptil. Jumlah tersebut bahkan akan terus bertambah seiring penelitian baru yang mungkin terjadi di masa depan.
Sayangnya, hutan di Tanah Papua tak lepas dari ancaman. Selama kurun waktu 1990 hingga 2019, luasan hutan Tanah Papua berkurang hampir 2 juta hektare dari total 33 juta hektare. Tidak dapat dipungkiri, hutan di Bumi Cenderawasih tersebut merupakan salah satu hutan yang paling diincar pada saat ini karena kondisi hutan di wilayah Indonesia lain sudah mulai habis.
Kerusakan hutan Papua berdampak besar bagi masyarakat Papua terutama masyarakat adat yang menggantungkan hidup dari sumber daya hutan. Masyarakat adat Papua menganggap hutan sebagai ibu kandung yang memberi makan anak-anaknya. Sistem tradisional inilah yang digunakan untuk mengelola hutan demi mencukupi kehidupan sehari-hari. Dengan rusaknya hutan maka masyarakat adat akan kehilangan sumber pangan dan budaya yang telah mereka jaga sejak zaman dahulu.
Melindungi hutan dan ekologi adalah kewajiban setiap orang. Perlindungan itu tidak hanya terbatas untuk hutan Papua tapi hutan yang masih tersisa di seluruh Indonesia. Tak hanya masyarakat di sekitar hutan, tetapi seluruh lapisan masyarakat, termasuk akademisi, wajib melindungi kehidupan dari aspek ekologi.
Akademisi Biologi Taksonomi Tumbuhan FMIPA Universitas Negeri Jakarta, Agung Sedayu, mengatakan, perlindungan sumber daya alam sejatinya telah lama dikenal oleh masyarakat. Pada era kerajaan Majapahit, masyarakat Nusantara menjalankan Piagam Katiden yang berisi perintah melindungi hewan.
“Hewan harus dilindungi, kecuali jika hewan tersebut memasuki kampung dan memakan tanaman pangan. Kemudian pada Piagam Katiden II berisikan pembebasan pajak penduduk Katiden karena karena telah bertugas memelihara padang rumput di Gunung Lejar,” ujar Agung.
Pada masa pascakemerdekaan Indonesia, civitas akademika dapat berperan dalam konservasi alam dengan memproduksi data dari hasil lapangan lalu melakukan aksi nyata, mengedukasi, dan mendiseminasikan hasil penelitian kepada masyarakat.
Menurut Agung, mahasiswa memiliki posisi unik di masyarakat. Di satu sisi, mahasiswa memiliki kemampuan meningkatkan kapabilitas internal melalui pengamatan dan penelitian. Di sisi lain, mahasiswa juga dapat meningkatkan pengetahuan dan kompetensi masyarakat dengan cara menyebarkan hasil penelitian mereka.
“Akademisi berperan sebagai scientist dan pragmatis. Fungsi ini jauh lebih mobile daripada peneliti serius di lembaga penelitian maupun aktivis yang ada di LSM. Mahasiswa juga tidak punya resistensi di daerah,” ujar Agung dalam acara virtual yang dihadiri oleh 386 peserta tersebut.
Editor: Leo Wahyud & Lutfy Putra