Search
Close this search box.

Yuk, Kelola Sampah Organikmu dengan Vermicomposting!

Bagikan tulisan ini

Kalau kamu mendengar kata cacing, apa sih yang ada di benakmu? Mungkin bagi sebagian orang cacing adalah hewan yang menggelikan. Tapi, sebetulnya cacing tanah bisa berguna untuk memproses sampah organik kita menjadi pupuk, lho! Yup, teknik pengolahan sampah menggunakan cacing tanah ini dikenal dengan sebutan vermicomposting. 

Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh George Oliver Sheffield pada tahun 1941. Ia mengatakan kalau vermicomposting adalah metode yang efektif dan efisien untuk mengubah sampah-sampah dapur dan halaman menjadi kompos yang berkualitas baik. Penasaran gak sih gimana proses pembuatannya? Yuk, langsung aja cari tahu lebih banyak tentang vermicomposting!

Jadi proses vermicomposting itu gimana sih?

Inti dari prosesnya sebenarnya gak ribet, kok! Cacing-cacing tanah akan mengonsumsi kumpulan sampah organik kita untuk kemudian diproses di dalam tubuh mereka. Kemudian, para cacing tanah ini akan melakukan proses ekskresi dan mengeluarkan suatu materi yang dikenal dengan sebutan casting. Casting yang keluar dari tubuh cacing tanah inilah yang baik untuk dijadikan pupuk karena memiliki kandungan nitrogen 5x lebih banyak dan kalium 11x lebih banyak daripada tanah biasa. Kandungan kedua unsur ini sangat penting untuk pertumbuhan dan kesuburan tanaman.

Jenis sampah apa saja sih yang bisa dikelola dengan metode vermicomposting?

Jenis sampah organik yang paling cocok untuk diolah menjadi pupuk melalui vermicomposting adalah yang berbasis tanaman. Misalnya adalah sisa-sisa sayuran dan buah (termasuk kulit, daun, biji, dan bagian lainnya), tanaman kering atau mati, dan juga ampas teh serta kopi. Akan tetapi, hindarilah memberikan sisa makanan yang bersifat asam, seperti contohnya jeruk, lemon, dan bawang putih karena cacing tanah tidak dapat mengonsumsi kandungan yang terlalu asam. Sementara itu, untuk sampah organik yang berasal dari binatang, seperti misalnya sisa daging, produk olahan susu, dan kotoran binatang akan kurang efektif untuk diproses dengan metode ini karena berbau dan dapat mengundang hama. 

Ketika kamu akan memberikan sampah organikmu ke tempat cacing-cacing ini, akan lebih baik kalau ukurannya bisa dibuat lebih kecil-kecil. Misalnya ketika ada kulit pisang, alih-alih langsung memberikannya ke para cacing untuk mereka makan, kamu bisa memotongnya menjadi potongan-potongan kecil. Dengan begitu, proses mereka memproses sampah organik menjadi pupuk bisa lebih cepat.

Kalau jenis cacing tanahnya gimana?

Cacing tanah sendiri terdiri atas berbagai jenis. Biasanya, yang digunakan untuk proses vermicomposting adalah cacing tanah jenis epigeic atau cacing tanah pemakan sampah (lumbriccus rubellus dan eisenia foetida). Kedua spesies cacing tanah ini berwarna coklat kemerahan dan sebenarnya tidak begitu sulit untuk dibudidayakan. Hanya saja, karena bentuk, ukuran, dan warna mereka mirip dengan jenis cacing-cacing lainnya, pada saat awal membudidayakan mereka kita harus berhati-hati dan memastikan ke orang yang sudah lebih paham.

Gimana, kamu tertarik gak nih untuk mencoba membuat pupuk sendiri dengan bantuan cacing tanah? Nggak ada salahnya untuk mencoba, lho! Kalau kamu baru pertama kali mencoba, sebaiknya mulailah dengan sedikit demi sedikit. Biasanya, setelah 3-6 bulan, di wadah para cacing tersebut sudah terkumpul cukup banyak pupuk yang bisa kamu manfaatkan. Dengan melakukan vermicomposting, selain sampah organikmu bisa terkelola dengan lebih bijak, kamu pun memiliki pupuk yang bisa kembali digunakan untuk menyuburkan aneka tanamanmu. 

Supaya lebih seru, kamu juga bisa lho mengajak anggota keluarga dan teman-temanmu untuk melakukan vermicomposting juga. Dengan begitu,kamu telah menjadi seorang diplomat lingkungan yang berkontribusi dalam usaha pelestarian lingkungan. Keren, kan? Agar bisa lebih siap menjadi diplomat lingkungan, coba deh ikutan School of Eco Diplomacy yang diadakan Yayasan EcoNusa! Supaya enggak ketinggalan informasi lengkap SED berikutnya, jangan lupa pantau website dan media sosial EcoNusa, ya!

Berita lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved