Mengenal Wanamina: Pengintegrasian Budidaya Perikanan dan Pelestarian Mangrove

Bagikan tulisan ini

Selama ini, Indonesia dikenal sebagai negara dengan lahan hutan mangrove terluas di dunia. Dengan total area sekitar 3.311.208 hektare, hutan mangrove di Indonesia menyumbang 21% dari total lahan mangrove dunia. Keberadaan ekosistem mangrove di wilayah pesisir pantai memberikan banyak sekali manfaat bagi lingkungan. Misalnya adalah mencegah abrasi dan erosi, tempat tinggal bagi sejumlah satwa, hingga mampu menyerap emisi karbondioksida dalam jumlah yang besar. Hutan mangrove diperkirakan dapat menyimpan sekitar 4-12 gigaton karbon per tahun. Maka, tak heran bahwa mangrove adalah salah satu vegetasi yang berperan besar dalam upaya kita memerangi krisis iklim.

Sayangnya, kondisi hutan mangrove di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Menurut Peta Mangrove Nasional, saat ini sekitar 19% di antaranya berada dalam kondisi kritis dan perlu segera direhabilitasi. Selain itu, menurut Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (JAPESDA), Indonesia telah kehilangan sekitar 800.000 hektare ekosistem mangrove dalam 30 tahun terakhir. Salah satu pemicu yang menyebabkan kerusakan di hutan mangrove adalah adanya alih fungsi lahan. Banyak wilayah mangrove yang dibabat untuk dijadikan tambak raksasa karena dinilai dapat mendongkrak kemajuan industri perikanan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. 

Wanamina: Upaya Melestarikan Ekosistem Mangrove

Padahal, sebetulnya terdapat cara yang dapat dilakukan untuk dapat melakukan budidaya udang di tambak tanpa harus mengorbankan kelestarian mangrove, yaitu dengan menerapkan sistem wanamina atau silvofishery.  Terdiri atas 2 kata: wana (hutan) dan mina (bahari), wanamina adalah sistem pengelolaan hutan dan lautan dengan memakai teknologi tradisional dan memperhatikan kearifan lokal. Salah satu cara penerapannya adalah dengan mengintegrasikan kegiatan budidaya ikan atau udang di tambak dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan, dan pelestarian hutan mangrove. Melalui sistem ini, hutan mangrove tetap bisa bertahan. Ekosistemnya pun menjadi semakin kaya karena ada banyak biota laut, seperti ikan, udang, kerang, dan kepiting yang dapat berkembang biak dengan baik dan nantinya menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi.

Dalam menjalankan sistem wanamina, terdapat paling tidak 3 model tambak yang dapat dibuat. Pertama adalah model empang parit, yaitu menempatkan mangrove di tengah tambak dan budidaya hewan laut dilakukan di sekelilingnya hingga menyerupai parit. Lalu, model tambak yang kedua adalah model komplangan atau selang-seling. Pada model ini, posisi tambak dan area yang ditanami mangrove ditempatkan bersebelahan dan berselang-seling. Sementara itu, yang ketiga adalah model jalur. Model tambak ini sebenarnya sama seperti model empang parit, tapi ukuran tambaknya dibuat lebih besar, yaitu sekitar 3-5 meter dan kedalaman hingga 80 cm.

Pada saat ini, sistem wanamina telah diterapkan di berbagai hutan mangrove di Indonesia. Misalnya adalah di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, dan juga di Provinsi Bangka Belitung. Dengan dibangunnya tambak-tambak untuk budidaya hewan laut dan tetap melakukan rehabilitasi serta pelestarian lahan mangrove, masyarakat sekitar pun bisa memperoleh lebih banyak keuntungan. Misalnya adalah mendapatkan hasil tangkapan hewan laut yang lebih banyak dari sebelumnya dan lebih terlindungi dari ancaman abrasi.

Menarik sekali, ya sistem wanamina ini! Penerapan wanamina juga menjadi bukti bahwa aksi pelestarian lingkungan dapat berjalan berbarengan, bahkan mendukung upaya meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat sekitarnya. Pada tahun 2021, EcoNusa juga telah menyosialisasikan wanamina ke masyarakat luas melalui program Sail to Campus yang bekerja sama dengan 4 universitas di Luwuk dan Poso, yaitu Universitas Muhammadiyah Luwuk, Universitas Tompotika, Universitas Sintuwu Maroso, dan Universitas Kristen Tentena. 

Berita lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved