Krisis iklim yang tengah terjadi membuat alam sulit diprediksi. Bencana ekologis yang sebelumnya tak pernah terjadi kini dapat dengan mudah menghampiri masyarakat. Karena itu diperlukan perencanaan pembangunan dan mitigasi yang didukung oleh semua pemangku kepentingan lintas sektor untuk menjadikan bumi sebagai tempat tinggal yang aman dari krisis iklim.
Koordinator Program Studi Magister Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, mengatakan perencanaan pembangunan yang terjadi di setiap daerah harus diawasi. Menurut Eko, “bala tentara” pengawas perencanaan dapat bekerja sama agar usulan yang diberikan kepada pemangku kepentingan tidak parsial.
“Kita semua bisa jadi bala tentara untuk melindungi bumi dari krisis iklim yang terus berlanjut. Mahasiswa, dosen, karyawan, PNS, masyarakat lainnya bisa turut berperan. Ketika pembangunan diawasi bencana ekologis bisa dihindari. Jika sudah terjadi bencana, mitigasi sudah dilakukan,” kata Eko dalam diskusi virtual Road to Campus bertajuk Defending Paradise: Menjaga Harmoni Tanah Papua dan Maluku pada Kamis (1/4/2021).
Baca juga: Ekonomi Sirkular untuk Kurangi Sampah Plastik
Eko memaparkan bencana ekologis yang terjadi di sejumlah daerah akibat kesalahan perencanaan pembangunan. Banjir yang terjadi di Kota Bandung pada 2020 terjadi akibat minimnya resapan air yang memadai, sementara pemukiman penduduk semakin bertambah. Saat curah hujan tinggi, Kota Bandung yang berbentuk cekungan rentan terhadap banjir.
Kondisi serupa juga menjadi penyebab banjir di Kota Pontianak. Kota Khatulistiwa itu terendam banjir karena tertutupnya saluran drainase. Kombinasi air laut yang tengah pasang dan air hujan dengan intensitas tinggi membuat Kota Pontianak menjadi tempat langganan banjir.
Selain itu, banjir bandang dan longsor yang terjadi di Kota Sentani pada 2019 menjadi contoh kerusakan alam yang memicu bencana ekologis. Kerusakan alam di Pegunungan Cycloops untuk lahan pemukiman dan pertanian kering campur, perambahan pohon, dan galian C, tak mampu menahan curah hujan ekstrem.
Baca juga: Jalan Panjang Pelestarian Pangan Khas Tanah Papua
“Bencana dan alam itu ada hubungannya. Kalau kualitas alamnya buruk maka bencana hadir di sekitar kita. Misalnya, dalam perencanaan pembangunan, suatu kawasan dinilai berdasarkan nilai ekonomi, misalnya konversi hutan ke bentuk lain itu nilainya positif. Sayangnya kerugian akibat konversi hutan itu tidak pernah dihitung,” ujar Eko.
CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar, mengatakan menghentikan deforestasi merupakan salah satu langkah menghentikan krisis iklim. Penebangan hutan di seluruh dunia menyumbang sekitar seperempat emisi gas rumah kaca dunia. Jika deforestasi tak terkendali, Bustar khawatir krisis iklim gagal dikendalikan.
Menurut Bustar, hutan di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku menjadi benteng terakhir hutan hujan tropis di Indonesia. Ia berharap hutan di timur Indonesia tersebut tak bernasib sama dengan hutan di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Jika hal itu terjadi, krisis iklim semakin tak lagi dapat dikendalikan.
Baca juga: Relasi Manusia dan Alam di Tanah Papua
Tingginya cadangan karbon di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku menjadi alasan akan pentingnya menjaga kawasan tersebut. Berdasarkan data tutupan lahan (land cover) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2019, stok karbon di kawasan tersebut 7.145 Gigaton.
“Jangan sampai hutan di sana bernasib sama dengan hutan di pulau lain. Apa yang terjadi di sana akan berdampak di sini juga. Petani tidak bisa tanam di waktu yang tepat. Nelayan tidak bisa melaut karena cuaca tidak pasti. Kalau sudah begitu, sumber pangan akan terganggu,” ujar Bustar.
Penulis: Lutfy Mairizal Putra
Editor: Leo Wahyudi