Hiruk-pikuk kontroversi Omnibus Law Cipta Kerja seolah tiada berkesudahan. Gelombang unjuk rasa penolakan terus terjadi hingga kini sebagai reaksi masyarakat atas 79 undang-undang multisektor yang disederhanakan untuk penyediaan lapangan kerja dan investasi. Pada Senin (2/11), Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani UU Cipta Kerja. Draft final UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman tersebut diberi nomor UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dan seluruh ketentuannya resmi berlaku sejak 2 November 2020.
Di bidang lingkungan hidup, UU Cipta Kerja bersinggungan dengan tiga undang-undang; UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 18 tahun 2018 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Isu kelestarian lingkungan hidup menjadi perhatian khusus karena pasal-pasal kunci dalam undang-undang terkait perlindungan lingkungan hidup diubah dan bahkan dihilangkan. Berdasarkan rangkuman tim Advokasi dan Kebijakan Publik Yayasan EcoNusa, ada beberapa hal yang dinilai dapat menimbulkan implikasi terkait perlindungan hutan dan lingkungan hidup. Termasuk hilangnya batasan minimal kawasan hutan yang harus dipertahankan, disederhanakan dan dilonggarkannya izin berusaha, disederhanakannya perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, hingga sanksi pelanggaran yang dilemahkan.
Baca juga: Nasib Lingkungan Hidup dan Masyarakat Adat dalam Omnibus Law Cipta Kerja
Padahal, Indonesia Timur, terutama Tanah Papua merupakan pulau tropis yang memiliki keanekaragaman hayati paling kaya di dunia. Sebuah studi di Jurnal Nature baru-baru ini menyebut Pulau Papua memiliki lebih banyak spesies tumbuhan daripada Pulau Madagaskar yang semula menduduki peringkat pertama. Sebanyak 13.634 spesies tumbuhan hidup di Papua. Angka ini hampir 2.000 kali lipat lebih banyak daripada yang hidup di Pulau Madagaskar. 9.000 spesies tumbuhan di antaranya adalah endemik. Sebut saja anggrek api, woton, selre (anggur Papua), anggrek besi, buah hitam (piarawi), buah taer, dan buah merah yang hanya segelintir dari sekian banyaknya flora endemik Tanah Papua.
Berdasarkan Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA) Dinas Kesehatan 2017, dari belasan ribu spesies tumbuhan di Tanah Papua, ada sekitar 983 jenis tumbuhan yang diduga sebagai tumbuhan obat. Sebanyak 529 jenis tumbuhan diantaranya telah teridentifikasi sebagai tumbuhan obat yang berkhasiat mengobati penyakit.
Tak hanya kekayaan flora, Tanah Papua setidaknya juga memiliki 125 jenis mamalia (55 persen endemik), 223 jenis reptil (35 persen endemik), dan 602 jenis burung (52 persen endemik). Mulai dari burung surga cenderawasih, kanguru mantel emas, nuri sayap hitam hingga ekidna, hidup di hutan-hutan dan sepanjang aliran sungai di Tanah Papua.
Peneliti pasca-doktoral Royal Botanic Gardens, Kew, London dan Universitas Zurich, Swiss, Camara-Leret menyebut pulau Papua adalah laboratorium alam dan salah satu ujung tombak terakhir keanekaragaman hayati. Peneliti bahkan menjumpai 68 persen tumbuhan di pulau ini tidak ditemukan di tempat lain.
“Pulau ini merupakan laboratorium alam, dimana kami para ahli biologi evolusi menggunakannya untuk mempelajari lansekap yang terfragmentasi,” ungkap Cámara-Leret seperti dilansir dari Mongabay.
Tanah Papua sendiri memiliki blok hutan primer paling utuh di daerah tropis. Namun, kehilangan tutupan hutan terus meningkat dekade terakhir ini, akibat lonjakan angka penebangan hutan, pertambangan, pembukaan hutan tanaman industri, dan perkebunan sawit. Berdasarkan data EcoNusa (2020), laju deforestasi di Provinsi Papua mencapai 30.944 ha per tahun dan di Provinsi Papua Barat mencapai 4.436 ha per tahun.
Menurut Cámara-Leret, keragaman dan endemisitas tumbuhan di Pulau Papua amat rentan ancaman karena dalam beberapa kasus, penyebaran spesies tumbuhan tertentu hanya tumbuh di suatu wilayah habitat yang sempit. Sehingga, hanya dengan sekali pembukaan lahan untuk perkebunan skala besar, spesies-spesies ini rentan musnah.
Lebih lanjut, penebangan hutan dapat menimbulkan efek paradoks pada keanekaragaman hayati yang ditinggalkan. Jumlah spesies di area tertentu akan meningkat dalam jangka waktu singkat. Namun, dalam kasus tertentu, beberapa spesies tak dapat berkembangbiak meski mampu bertahan hidup.
Melalui Deklarasi Manokwari di tahun 2018, Provinsi Papua dan Papua Barat telah menyatakan komitmen untuk melindungi minimal 70 persen kawasan darat untuk kelestarian keanekaragaman hayatinya, rumah bagi ribuan jenis flora dan fauna endemik ini. Dalam UU Kehutanan sebelum adanya UU Cipta Kerja, pemerintah pun menyatakan secara tegas bahwa kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Sayangnya, UU Cipta Kerja menghapuskan minimal kawasan hutan yang dipertahankan tersebut sehingga berpotensi menimbulkan kesempatan lebih besar untuk mengeksploitasi hutan tanpa batas. Penyederhanaan dan pelonggaran perizinan pun berpotensi membuka celah besar sehingga industri bisa saja masuk secara besar-besaran ke Tanah Papua dan memicu laju deforestasi semakin tinggi.
“Perubahan dan penghilangan pasal-pasal kunci terhadap pelestarian lingkungan hidup pada UU Cipta Kerja itu menjadi ancaman bagi keutuhan ekologi di Tanah Papua. Tanah Papua yang masih memiliki tutupan hutan alam terbesar di Indonesia pun menjadi semakin rentan,” kata Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa merespon pengesahan UU Cipta Kerja.
Perubahan dan penyederhanaan undang-undang dalam UU Cipta Kerja berpotensi mengancam kelestarian hutan dan lingkungan hidup tersebut. Habitat serta populasi flora dan fauna endemik, terutama di Pulau Papua, pun akan makin terancam. Padahal, tanpa hadirnya UU Cipta Kerja saja, tak sedikit flora dan fauna endemik Papua yang kini terancam punah.
Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional tanggal 5 November ini, semestinya menjadi refleksi bersama. Apakah kelestarian flora dan fauna yang menjadi identitas bangsa Indonesia sebagai negara dengan kekayaan alam luar biasa ini sudah menjadi prioritas dalam UU Cipta Kerja yang baru saja ditandatangani?
Editor: Leo Wahyudi