Dua puluh orang peserta School of Eco Diplomacy (SED) Kelas Dasar berkesempatan berkunjung dan berbincang langsung dengan para penjaga lingkungan di Kota Sorong, Provinsi Papua Barat pada Rabu (23/9/2020). Setelah peserta SED dibagi menjadi dua kelompok, mereka berkunjung ke Kawasan Wisata Mangrove Klawalu dan Bank Sampah Sorong Raya (BSSR).
Kawasan Wisata Mangrove Klawalu dikelola oleh Dinas Pariwisata Kota Sorong. Dalam kegiatan sehari-hari, Kepala Seksi Pengembangan Jasa Usaha Pariwisata, Rekreasi, dan Pasar, Santoso, mengemban tanggung jawab untuk mengelola kawasan wisata tersebut. Santoso dibantu pemuda gereja membentuk Kelompok Sadar Wisata (Kodarwis). Mereka bertugas untuk menjaga kelestarian mangrove dan keamanan pengunjung kawasan wisata.
Santoso mengatakan bahwa ekosistem mangrove mengalami kerusakan pada 2017. Kayu pohon mangrove diambil untuk dijadikan kayu bakar. Tak hanya itu, batu karang di sekitar hutan mangrove juga diambil sebagai bahan pembuatan rumah.
Baca juga: Pace Lingkungan: Anak Muda Bisa Membawa Perubahan
“Semua itu dijual oleh masyarakat dari luar kampung untuk kepentingan pribadi. Efeknya tidak langsung terlihat, tapi nanti, sepuluh tahun ke depan. Padahal ekosistem mangrove ini sangat penting sekali karena di sebelah sana sudah laut. Jangan sampai terjadi abrasi,” kata Santoso.
Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, Santoso bekerja sama dengan Suku Moi sebagai pemilik ulayat. Ketua Marga Malibela, Yonas Malibela memberikan 5 hektare kawasan mangrove untuk dikelola sehingga menjadi destinasi wisata. Kawasan Wisata Mangrove Klawalu resmi berdiri pada Mei 2019. Saat ini baru 1 hektare kawasan mangrove yang telah dikelola bersama pemerintah dan masyarakat.
Peserta SED Sorong, Hilda Patihani, mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong, mengatakan bahwa kerja sama pemerintah dan masyarakat dalam menjaga ekosistem mangrove merupakan kolaborasi yang patut ditiru. Menurutnya, semua pemangku kepentingan harus turut andil menjaga lingkungan sesuai dengan perannya.
“Sebagai anak muda, kami tak ingin hutan mangrove kami rusak. Saya akan perkenalkan Kawasan Wisata Mangrove Klawalu kepada masyarakat lebih luas. Kalau tiba di Sorong, singgahlah melihat kawasan mangrove. Jangan langsung ke Raja Ampat. Saya ingin ajak teman-teman menanam mangrove agar lebih lestari,” kata Hilda.
Baca juga: Anak Muda Mandiri Hasilkan Pangan di Kampung Mlaswat
Pengalaman serupa juga didapat saat mengunjungi BSSR yang berdiri atas inisiatif Misool Foundation. Mereka berbincang dengan Koordinator Divisi Pemberdayaan BSSR, Anggun Aila Nova. Anggun mengajak peserta SED Sorong berkeliling dan memilah sampah yang telah terkumpul.
BSSR mengajak masyarakat sekitar untuk memilah sampah rumah tangga. Mereka juga mengedukasi masyarakat bahwa sampah dapat diubah menjadi barang ekonomi melalui daur ulang untuk dijadikan tas, dompet, dan hiasan rumah.
Sampah telah menjadi salah satu perhatian pemerintah dan warga Kota Sorong. Pada awal 2019 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui tim penilai Adipura mengumumkan sepuluh kota terkotor di Indonesia. Kota Sorong termasuk di dalamnya. Untuk itu, partisipasi seluruh pemangku kepentingan diperlukan untuk membuat Kota Sorong kembali asri.
Baca juga: Meningkatkan Ketahanan Pangan Melawan Pandemi
Penilaian tersebut membuat peserta SED Sorong Widia Fermina Wenehen, anggota komunitas Witibi Oil Klamono, resah. Berangkat dari pengalaman membersihkan tumpukan sampah di jalan, Widia berencana mengajak masyarakat di sekitar rumah membersihkan sampah secara rutin.
“Saya akan mulai dari lingkungan sendiri. Harus punya keberanian bicara dengan RT dan RW sekitar. Bisa tidak seminggu sekali kita kerja bakti bersama. Kalau dari pemerintah sebulan sekali. Jangan menunggu instruksi, kita harus lebih giat,” ujar Widia.
Editor: V. Arnila Wulandani dan Leo Wahyudi