Visi pengembangan dan pembangunan sebuah daerah terpancar dari Rencana Tata Ruang dan WIlayah (RTRW) yang dibentuk sebagai pedoman pemanfaatan wilayah tersebut. Untuk wilayah dengan Sumber Daya Alam melimpah, RTRW yang disusun selama ini banyak mengalokasikan wilayah mereka untuk dieksploitasi. Alasannya kawasan tersebut dapat menjadi sumber pendapatan daerah.
Kondisi ini awalnya juga terjadi di Provinsi Papua Barat. Pada RTRW periode 2013-2033, dicantumkan proporsi 36% kawasan Papua Barat yang ditargetkan sebagai kawasan konservasi, sementara untuk Area Penggunaan Lain (APL) mencapai 64%.
Deklarasi Provinsi Konservasi yang dilakukan Pemerintah Provinsi Papua Barat pada medio 2015 lalu turut mengubah pola pikir mereka. Hal itu pun berimbas pada rencana revisi RTRW Provinsi Papua Barat. Kali ini, komitmen ambisius dilontarkan dengan hendak menjadikan 70% proporsi kawasan Papua Barat sebagai area konservasi, sementara 30% saja yang dijadikan APL.
“Dengan adanya pemekaran baru kabupaten di Papua Barat, maka kebutuhan peruntukan kawasan yang ada ini perlu kita tinjau baru, sehingga kita sesuaikan lagi kawasan-kawasan ini peruntukannya, mana untuk pengelolaan, lindung, konservasi dan sebagainya. Sehingga ketika RTRW ini sudah disahkan ke depan kita akan bangun dengan mengacu pada RTRW itu, sehingga kita tidak salah bangun, kalau salah bangun, kita akan salah dalam perencanaannya,” ucap Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan dalam pembukaan Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Ekowisata dan Ekonomi Kreatif, di Kompleks Perkantoran Gubernur Papua Barat, Manokwari, Minggu (07/10).
Dalam Sesi Pleno, Dominggus memaparkan lebih detail lagi terkait rencana tersebut. Dirinya berharap revisi RTRW Papua Barat dapat menjadi salah satu cara Provinsi itu berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon nasional dan pelestarian Keanekaragaman Hayati.
“Kami akan canangkan hutan sagu sebagai kawasan ekosistem yang perlu dilestarikan oleh masyarakat Papua. Secara khusus untuk tata ruang kami usulkan untuk memasukan wilayah kelola masyarakat adat di dalam struktur dan program RTRW Provinsi Papua Barat sesuai dengan semangat otonomi khusus Papua Barat yang mengedepankan konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak asli orang Papua,” terang dia.
Sebelumnya, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Papua Barat Charlie Heatubun dalam kesempatan terpisah menyatakan niatan revisi RTRW laiknya memagari halaman rumah. Menurutnya, dengan adanya pemagaran, maka batasan kawasan yang bisa dijadikan APL akan terlihat jelas.
“Kalau tidak dari sekarang (pemagaran), tentu ya akan banyak izin-izin, yang kita tau ini urusannya di Pemerintah Pusat. Dengan begitu, inisiatif yang udah kita umumkan tidak akan bisa berjalan,” ucap dia.
Terkait izin, Charlie menyatakan sebagian besar Tanah Papua sudah dikavling untuk alokasi tambang dan sawit. Untuk pertanian, dirinya menyebut ada 42 izin.
“Oleh karena itu, salah satu target kami di ICBE ini adalah me-review izin-izin terutama yang berkaitan dengan sawit,” sambung dia.
Sejatinya, masyarakat Papua selalu bisa memanfaatkan alam mereka tanpa merusak hutan. Pasalnya, segala kebutuhan mereka selalu dapat ditemukan di hutan.
Oleh karena itu, salah satu skema yang harus dikembangkan adalah Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) bersamaan dengan pemanfaatan ekosistem hutan yang dapat menghasilkan dalam kegiatan ekonomi wisata.
Pandangan tersebut tertanam betul di pegiat Konservasi dan Ekowisata di Pegunungan Arfak, Hans Mandacan. Dirinya berhasil mengiklankan wisata bird watching di Pegunungan Arfak sekaligus melibatkan masyarakat sekitar sebagai pemandu wisata.