Tanah Papua menyimpan sejuta misteri yang menunggu untuk diungkap. Kekayaan biodiversitas yang bersemayam di Tanah Papua menantang para peneliti muda untuk menawarkan solusi alternatif dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Pencarian ilmiah tersebut diharapkan dapat membawa kesejahteraan masyarakat asli Papua sekaligus melestarikan sumber daya alam.
Rieni Tumanggor, mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Papua, meyakini buah merah (Pandanus conoideus Lam) memiliki potensi jauh lebih besar untuk pemanfaatan lebih lanjut. Buah endemik Tanah Papua ini memiliki beragam khasiat. Hasil penelitian menyebutkan bahwa buah merah mampu menghambat pertumbuhan sel kanker, menurunkan kadar kolesterol jahat, kadar antioksidan yang dapat mengurangi peradangan, dan mengontrol kadar gula darah.
Konsumsi buah merah dapat dilakukan dengan cara dimakan langsung, direbus, atau dipanggang. Masyarakat di Tanah Papua juga memanfaatkan buah merah sebagai sumber minyak dan lemak. Bahkan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Semarang mengaplikasikan buah merah sebagai bahan baku pembuatan saus.
Didampingi tim panel Ilmuwan Muda Papua (IMP), Rieni tergerak untuk mencari cara pemanfaatan lain dari buah merah yang ramah bagi masyarakat dan keberlangsungan populasi buah merah sendiri. Ia tengah meneliti potensi buah merah sebagai bahan pewarna makanan alami dalam bentuk bubuk.
“Aku ingin buat pewarna makanan dalam bentuk bubuk agar mudah diaplikasikan dengan bahan makanan lain. Penelitian ini juga bertujuan untuk menguatkan argumen bahwa buah merah bisa diolah menjadi beragam produk khas dari Tanah Papua,” kata Rieni saat dihubungi EcoNusa.
Rieni mengatakan, penelitiannya dapat menunjang pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua. Selain mengembangkan pertanian dengan mendukung pengolahan bahan pangan lokal, Rieni berharap hasil penelitiannya dapat menggerakkan perekonomian berkelanjutan orang asli Papua.
“Tidak hanya sisa buah merah dibuang setelah jadi minyak, tapi bisa dimanfaatkan dalam bentuk lain,” ucap Rieni.
Setali tiga uang dengan Rieni. Minimnya hasil penelitian juga mendorong keingintahuan Ivan Jeremy Palege, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Cenderawasih. Jeremy mendapati bahwa tidak ada penelitian detail tentang maleo papua (Megapodius decollates) yang telah dipublikasikan.
Burung maleo dapat ditemukan di sejumlah tempat. Di Sulawesi Macrocephalon maleo telah ditetapkan sebagai hewan terancam punah. Kondisi serupa juga terjadi pada maleo waigeo (Aepypodius bruijnii). Meski berstatus berisiko rendah, maleo papua (Megapodius decollates) tak lepas dari perburuan.
“Belum ada penelitian yang secara spesifik untuk maleo papua. Penyebutan maleo papua ada sekilas, tapi lokasi penelitiannya di New Guinea. Dalam penelitian tersebut dibahas keanekaragaman burung dan disebutkan terdapat spesies maleo papua. Namun hanya sebatas itu, tidak bahas detail lagi maleo papua itu seperti apa,” ujar Jeremy.
Jeremy menuturkan, ancaman populasi rentan menghampiri maleo papua karena praktik perburuan telur maleo. Nilai jual telur maleo tergolong tinggi. Satu telur maleo dipatok Rp 20.000 – 25.000.
“Tidak semua masyarakat di Kampung Soaib, Jayapura, tapi beberapa orang sering masuk ke hutan dan pulang membawa telur maleo. Nilai jual telurnya termasuk tinggi. Saya sempat bertanya di Pasar Sentani. Rata-rata telur maleo digunakan untuk konsumsi,” ucap Jeremy.
Dosen Universitas Cenderawasih dan anggota tim panel IMP, Henderite Loisa Ohee, menyatakan minimnya hasil penelitian dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam menjalankan pembangunan. Untuk itu, hasil penelitian menjadi penting, tidak saja untuk menjaga biodiversitas namun juga akses ekonomi masyarakat.
“Belum banyak yang meneliti hiu berjalan di Teluk Cenderawasih. Informasi populasinya tidak tersedia. Penelitian ini perlu dilakukan agar aktivitas pariwisata tidak merusak habitat dan mengurangi populasi. Contoh lain, kebun sawit akan dibuka di lokasi habitat burung maleo. Data maleo penting diberikan kepada pemangku kepentingan untuk menghindari pembangunan kebun sawit karena di sana ada habitat burung endemik,” ujar Henderite.
Henderite berharap dua puluh peneliti muda peserta IMP dapat terus mempertahankan keinginan mereka untuk meneliti. Pasalnya, menurut Henderite, lulusan universitas dengan peminatan ilmu pengetahuan alam rentan beralih profesi. Meski menganggap hal itu sebagai kewajaran, namun ia menyayangkan berkurangnya jumlah peneliti.
Menjadi peneliti di Papua dan di daerah lain di Indonesia itu berat sebenarnya. Dalam periode waktu tertentu peneliti ekologi belum tentu mendapat hasil yang memuaskan. “Sebenarnya tidak masalah (beralih profesi), tapi peneliti berkurang. Selain itu, dana penelitian minim. Peneliti keanekaragaman hayati atau di bidang lain itu menjadi tidak banyak. Saya harap mereka tetap menjadi peneliti, kemampuan penelitian mereka tetap diasah,” kata Henderite.
Editor: V. Arnila Wulandani dan Leo Wahyudi