Babi dan babi hutan dianggap memiliki tempat istimewa dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat di Tanah Papua. Babi Hutan (Bos Suscrofa) awal mulanya dibawa oleh imigran dari Sulawesi (BBM/Bugis-Buton-Makassar) ke hutan tropis Tanah Papua yang sampai sekarang berkembang biak dengan sangat pesat. Sayangnya penelitian terhadap perkembangan populasinya belum dilaksanakan, sehingga perkiraan jumlahnya belum ada. Masyarakat di Tambrauw meyakini jumlah babi hutan semakin bertambah.
Bagi masyarakat di Tambrauw, Papua Barat, babi hutan disukai karena menjadi sumber kebutuhan protein bagi keluarga. Babi hutan mudah ditangkap dan jumlahnya melimpah di hutan. Di sisi lain, keberadaannya menjadi ancaman tersendiri bagi keberlanjutan populasi hewan lain karena menjadi pemangsa telur penyu di pantai tempat penyu bertelur. Babi hutan juga menjadi hama yang memakan tanaman pertanian di kebun masyarakat. Paskalis Awak adalah orang asli Kampung Imbuhan yang setiap hari mengitari hutan untuk mencari hewan buruan dan memanfaatkan hutan sebagai sarana pembelajaran sejak kecil. “Babi hutan ini seperti lagu Benci tapi Rindu. Dibenci karena mereka sebagai hama, tapi dirindukan karena enak untuk dimakan,” kata Paskalis.
Namun demikian, babi juga menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat karena dagingnya dapat diolah dan dijual ke luar daerah. Agar bisa dipasarkan ke luar daerah, diperlukan perlakukan khusus. Biasanya, sebelum dijual, daging diolah melalui pengasapan (semi processing). Masyarakat pemburu di Imbuan dapat memperoleh penghasilan Rp500 ribu hingga Rp 1 juta per ekor, tergantung dari ukuran babi. “Banyak orang Barat di cafe-cafe di luar daerah yang suka mengonsumsi sosis dari bahan daging babi hutan dari Tanah Papua,” tegas Paskalis.
Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa, membenarkan pernyataan tersebut. Ia menambahkan bahwa selain hama bagi pertanian masyarakat, juga menjadi hama bagi telur-telur Penyu Belimbing (Dermochelys coriaceae) di Suaka Margasatwa Jamursba Medi. Suaka Margasatwa ini menjadi pantai peneluran penyu terbesar di Indonesia termasuk mengalahkan Pantai Kamiali-Lae, Papua New Guinea. “Kami bekerja sama dengan masyarakat asli Papua di Kabupaten Tambrauw untuk memanfaatkan daging babi hutan. Selain itu, sebagai bentuk dukungan terhadap upaya konservasi penyu belimbing, sekaligus mendorong masyarakat untuk menjaga ekosistem hutan yang masih ada. Yang paling penting masyarakat akhirnya dapat mempertahankan hutannya sendiri dari konversi menjadi sawit yang saat ini sedang marak di kepala burung Papua Barat,” tegas Bustar.
Salah satu program EcoNusa adalah mencari dan membangun inisiatif komoditas lokal yang dapat menjadi “Best Practices” untuk engelolaan Sumber Daya Alam (PSDA). Salah satunya adalah pengelolaan daging babi hutan di Kabupaten Tambrauw, Sorong dan Sorong Selatan.
Saat ini, tim PSDA EcoNusa bekerja sama dengan masyarakat Kampung Imbuan untuk mempersiapkan pelatihan pengelolaan daging asap. Tim EcoNusa telah bertemu masyarakat pada 19–24 Januari 2020 untuk mengambil data produksi dan pemasaran serta menyosialisasikan rencana pelatihan di Kampung Imbuan, Kabupaten Tambrauw pada April mendatang. Pelatihan ini akan melibatkan beberapa kelompok pemburu dari Kampung Imbuan dan dari Kabupaten lain, seperti Sorong dan Sorong Selatan. Untuk memaksimalkan hasil produksi, pelatih berpengalaman didatangkan langsung dari Kupang. Ia berpengalaman dalam mengelola daging asap atau sei dan berbagai variasi menu berbahan dasar daging babi. Selain itu, para peserta juga dilatih membuat souvenir berbahan dasar dari bagian tubuh babi hutan.
Editor: Leo Wahyudi