Penghujung tahun 2020 segera tiba. Namun, persoalan sampah plastik seolah tak ada ujungnya. Tentu masih lekat di ingatan kita potret seekor paus yang mati dengan perut yang berisi sampah plastik, sedotan plastik tersangkut di hidung seekor penyu, atau juga kuda laut yang membawa sebatang cotton buds. Potret yang terdokumentasikan media massa itu mewakili banyaknya kasus sampah plastik di lautan yang kian pelik. Bahkan, pandemi yang menghentikan aktivitas manusia sepanjang tahun ini tidak serta merta mengurangi persoalan sampah plastik.
Menurut temuan para ilmuwan, aroma plastik yang terendam air laut memang menciptakan aroma mirip makanan bagi fauna laut yang kemudian menarik mereka untuk memakannya. Hal itu karena plastik di lautan akan menjadi tempat tinggal lumut, mikroba, dan hewan-hewan kecil yang kemudian aromanya menjadi serupa.
Prediksi World Economic Forum (WEF) yang memperkirakan jumlah sampah plastik di lautan lebih banyak daripada ikan di lautan pada 2050 mendatang bisa saja menjadi kenyataan apabila persoalan sampah plastik di laut tak segera diatasi bersama-sama. Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK), jenis sampah kemasan plastik merupakan sampah terbanyak di wilayah laut Indonesia pada 2019. Setelah itu, disusul tutup botol, botol plastik, dan puntung rokok. Sampah plastik yang mengandung senyawa polimer ini, selain dapat merusak habitat terumbu karang, mangrove, padang lamun (seagrass) serta meracuni hewan-hewan laut, juga akan menurunkan kualitas air laut.
Baca juga: Kaum Muda Ternate Melawan Sampah Plastik di Laut
Masalah sampah plastik pun tak hanya dihadapi di perkotaan padat penduduk. Di pulau-pulau yang jaraknya ratusan bahkan ribuan kilometer dari kota pun dibayangi monster bernama plastik. Dalam perjalanan Ekspedisi Maluku EcoNusa Rute 2 pada 7 hingga 18 November lalu, tim EcoNusa menemukan beberapa fakta memprihatinkan tentang sampah yang mencemari pesisir dan laut Maluku.
Rata-rata kampung di pulau-pulau kecil di Kepulauan Maluku hanya memiliki 2 warung kelontong yang menjual produk berkemasan plastik. Namun, pesisir dan perairan sekitarnya dipenuhi sampah plastik. Sampah-sampah ini diduga terbawa arus dari tempat lain. Di kampung Ameth, Kecamatan Nusalaut, Maluku, tim Ekspedisi Maluku EcoNusa bersama komunitas setempat berhasil mengumpulkan setidaknya 10 karung sampah beraneka ragam, mulai dari plastik kemasan makanan, kabel, celana dalam, pembalut wanita, pampers, hingga handphone bekas. Sedangkan di perairan Haruku, Maluku, tim EcoNusa menemukan banyak sekali kemasan plastik yang tersangkut di sekitar lokasi transplantasi karang di bawah laut.
Data Portal Persampahan Dinas Pekerjaan Umum untuk Kepulauan Maluku yang diunduh 18 November 2020, di Kota Ambon sendiri, Dinas Pekerjaan Umum membersihkan 284,5 kg sampah di pantai. Sedangkan sampah di Kota Ternate mencapai 8,4 ton dan 3 persennya merupakan sampah plastik.
Keterlibatan Berbagai Elemen Masyarakat di Maluku
Selama mengunjungi kampung-kampung di Maluku, tim ekspedisi mengajak komunitas lokal, pemuda, dan warga untuk ikut bersih pantai dari sampah, terutama plastik. Di Desa Pulau Rhun, Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, puluhan siswa-siswi sekolah turut dalam kegiatan bersih sampah yang dipimpin langsung oleh Kepala Pemerintahan Desa Rhun, Salihi Surahe.
Faradila Dani, guru MTS Gemala Hatta yang ikut bersih pantai bersama murid-muridnya, mengatakan kebersihan menjadi prioritas di sekolahnya. Kerja bakti dan menjaga kebersihan lingkungan selalu ditanamkan kepada murid sehingga pihak sekolah turut serta dalam kegiatan ini.
Selain Rhun, aksi bersih pantai juga dilakukan di Desa Pulau Ay dan Ameth. Manager Program Baileo Maluku, Jefferson Tasik, mengatakan bersih sampah bersama Tim Ekspedisi Maluku EcoNusa ini melibatkan pemuda, lembaga-lembaga adat, saniri, kewang, komunitas gereja, tokoh adat, perempuan, dan mahasiswa KKN dari Universitas Kristen Maluku (UKIM).
“Hari ini melihat laut dan pantai bersih, hati senang. Ini sudah tiga kali ikut bersih sampah,” ujar Ervina Wairisal, salah seorang mahasiswa KKN Universitas Kristen Maluku yang ikut dalam kegiatan aksi bersih pantai di Ameth. Menurut pengalamannya, pesisir pantai Kota Ambon merupakan wilayah dengan jumlah sampah paling banyak yang pernah ia bersihkan.
Jaring Penarik Sampah
Di Pulau Banda Naira, tim ekspedisi menggunakan jaring untuk membersihkan perairan laguna dari sampah plastik. CEO EcoNusa, Bustar Maitar, mengatakan, selama ini masyarakat atau komunitas di Kepulauan Banda menggunakan jaring sero (banjang) untuk mengumpulkan sampah plastik, dan cara itu memang efektif.
“EcoNusa bersama komunitas di Banda mencoba memperkenalkan alternatif berupa jaring dengan bentangan lebih luas, sehingga bisa menjaring sampah laut lebih banyak,” ujarnya.
Menurutnya, jaring dengan bentangan luas itu harus diuji terus dan tetap perlu evaluasi untuk meningkatkan efektivitasnya. Jaring tersebut dibuat dengan panjang 10 meter dan lebar 5 meter yang ditarik dengan dua kapal cepat pada bagian sisinya.
“Tadi pagi kita sudah uji coba dan lumayan bagus hasilnya,” kata Bustar. Dalam uji coba itu, EcoNusa mengajak Ridho dan Kaka Slank.
Bustar menambahkan, setiap pagi ketika pasang surut di laguna Banda, banyak sekali sampah plastik yang nampak mengapung. Padahal laguna itu tidak terlalu besar.
Karena itu, menurutnya, perlu kerja sama masyarakat dan komunitas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak membuang sampah di laut. Selain itu, juga diperlukan kerja sama untuk menemukan solusi sampah yang sudah terlanjur dibuang ke laut.
Ia pun berharap, para pemilik perusahaan yang memproduksi barang dengan kemasan plastik bisa membantu komunitas dan masyarakat di Kepulauan Banda dalam menyelesaikan masalah sampah plastik yang kian mencemari laut.
Editor: Leo Wahyudi