
Kampung Kaptiau, atau warga sekitar menyebutnya Kapitiau, adalah kampung yang terletak di ujung timur Kabupaten Sarmi, berbatasan langsung dengan Kampung Sawe Suma di Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura. Meski jauh dari pusat kota, kampung ini menyimpan cerita menarik tentang kearifan lokal dan ketahanan masyarakatnya menghadapi tantangan hidup di pelosok pesisir Papua.
Kaptiau dikenal sebagai kampung dengan kekayaan alam melimpah. Ikan laut berukuran besar, kelapa yang tumbuh subur di sepanjang pesisir, kerang air tawar atau yang disebut oleh masyarakat lokal dengan bia, hingga kepiting karaka, semuanya adalah anugerah yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur mereka. Di sepanjang pantai itu, deretan pohon kelapa tumbuh subur, menjadi sumber utama penghidupan warga. Kaptiau memiliki alam yang begitu indah dan potensi ekonomi yang besar.
Baca Juga: Kopra: Sumber Penghidupan dari Pulau Pai dan Kampung Yamnaisu
Namun, di balik kekayaan itu, masyarakat Kaptiau masih hidup sederhana. Akses transportasi yang terbatas membuat segala sesuatu terasa sulit. Dusun kelapa Kaptiau terletak di wilayah pesisir yang menghadap langsung ke laut lepas. Jarak dusun kelapa dari kampung sebenarnya tidak terlalu jauh. Saat air surut, warga dapat menyeberang dengan berjalan kaki sekitar satu jam lebih. Tapi ketika air pasang, mereka hanya bisa menggunakan perahu dayung atau perahu motor. Jika menggunakan perahu bermotor, perjalanan bisa ditempuh sekitar 45 menit. Namun, bila gelombang laut tinggi, waktu tempuh bisa mencapai satu jam lebih.

Dusun Kelapa di Seberang Muara
Dusun kelapa Kaptiau membentang di sepanjang pantai, terpisah dari kampung utama oleh aliran sungai yang bermuara ke laut. Di sinilah masyarakat Kaptiau menanam, memanen, dan mengolah kelapa menjadi kopra, tradisi yang sudah mereka lakukan sejak tahun 1990-an. Setiap keluarga memiliki lahan kelapa seluas 1 hingga 1,5 hektar, dikelola dengan sistem keluarga atau marga.
Dulu, satu buah kelapa dihargai hanya Rp1.000. Kini harganya naik dua kali lipat menjadi Rp2.000. Sementara itu, harga kopra mencapai Rp13.500 per kilogram jika pembeli datang langsung ke kampung. Jika pembeli menjemputnya ke dusun dengan perahu motor, harganya turun menjadi Rp11.500 per kilogram. Kenaikan harga ini membuat masyarakat semakin semangat membuat kopra. Ada 12 keluarga di Dusun Kaptiau yang secara rutin menjual kopra ke Koperasi Yora Mekhande.
Baca Juga: Meningkatkan Literasi Keuangan Petani Kopra di Kampung Takar, Papua
Barter Kopra
Namun, kini masyarakat tidak menerima uang dari hasil penjualan. Karena transportasi yang jarang dan biaya angkut yang mahal, warga lebih memilih kembali ke cara lama: barter. Kopra tidak lagi selalu dijual dengan uang tunai, melainkan ditukar dengan bahan makanan, atau yang biasa disingkat dengan Bama oleh masyarakat lokal, dan kebutuhan pokok lainnya.
Sistem barter ini terbukti membantu. Dengan menukar kopra langsung dengan beras, gula, kopi, minyak goreng, atau sabun, warga tidak perlu lagi menempuh perjalanan jauh ke kota Sarmi atau kampung lain untuk berbelanja kebutuhan harian, yang biayanya seringkali lebih besar daripada hasil penjualan kopra itu sendiri.
Baca Juga: Kopra Kaimana Didistribusikan ke Pasar Nasional
“Dulu kami harus beli Bama ke kampung lain, harga mahal dan ongkos juga besar. Sekarang bisa tukar langsung dengan kopra. Cukup membantu sekali,” cerita Isak Bwara petani di Kaptiau.
Barter kopra dengan Bama mungkin terdengar kuno bagi sebagian orang. Namun di Kaptiau, cara ini justru lebih efisien dan menjadi solusi dengan kondisi alam, fasilitas transportasi, dan ekonomi yang mereka hadapi.
Dari pesisir yang sepi di timur Sarmi, masyarakat Kaptiau memberi kita pelajaran: bahwa kemandirian tidak selalu datang dari uang, tapi dari kebersamaan, kerja keras, dan kemampuan menemukan jalan hidup sesuai dengan kondisi alam yang mereka cintai.
Editor: Nur Alfiyah


