Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Kampung Pigo, Kampung dalam Konsesi HPH

Bagikan Tulisan

Yayasan EcoNusa dan peneliti Universitas Papua (UNIPA) serta Bappeda Kabupaten Kaimana yang tergabung dalam tim Rapid Survey Comprehensive (RSC) Teluk Arguni mengunjungi Kampung Pigo, Distrik Teluk Arguni Atas, Kaimana, Papua Barat pada awal Oktober 2020. Mengunjungi Kampung Pigo dari Pelabuhan Tanggaromi bukan perkara mudah. Perlu 4 jam perjalanan melalui perairan dan 2 jam perjalanan darat. Secara geografis, lokasi Kampung Pigo lebih dekat dengan Kabupaten Teluk Bintuni. Bahkan menurut salah satu petugas Puskesmas Pembantu (Pustu) Pigo yang tidak mau disebutkan namanya, masyarakat kampung lebih sering melakukan transaksi ekonomi di Kabupaten Teluk Bintuni.

Tim RSC berlabuh di bibir sungai sebelum melanjutkan perjalanan darat menuju Kampung Pigo. Terlihat kapal tongkang yang sebagian telah berisi log-log kayu. Dermaga kecil ini merupakan dermaga untuk kayu (log pond) yang dioperasikan oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yaitu PT. Wukirasari dan PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya. Sembari menunggu kendaraan gardan ganda untuk membawa tim RSC ke Kampung Pigo, rombongan mendengar suara gergaji mesin tak henti-hentinya meraung dari seberang sungai.

Perjalanan darat ke Kampung Pigo melewati jalan tanah dengan medan yang naik turun membelah hutan.  Di beberapa bagian ruas jalan, hutan tampak lebih gundul. “Jalan tanah ini adalah jalan yang dibuat oleh perusahaan. Dulunya jalan ini tidak ada, sehingga daerah ini tidak dapat dilalui kendaraan karena berupa hutan”, tutur Staf Bappeda Abidin Aziz Fenetiruma.

Dibanding kampung lain di pesisir Teluk Arguni, Kampung Pigo ini terlihat berbeda. Jarak tiap rumah di Kampung Pigo cenderung lebih berjauhan. Aktivitas penduduk pun tak banyak terlihat. Bahkan ada beberapa rumah yang sudah ditinggalkan oleh pemiliknya. Hanya tinggal belasan rumah saja yang masih ditempati oleh pemiliknya.

Menurut info dari petugas Pustu Pigo, jika ada perselisihan antarpenduduk atau ketidakpuasan terhadap pemerintah kampung, biasanya salah satu dari pihak yang berselisih tersebut akan meninggalkan rumahnya. Mereka akan membangun rumah baru di luar kampung yang berjarak tidak terlalu jauh. Kampung dimana lokasi Pustu Pigo ini berada merupakan kampung baru. Sedangkan kampung lama berada jauh di atas perbukitan.

Karakteristik sosial masyarakat tersebut membuat Kampung Pigo menjadi unik. Jika mendengar cerita dari petugas Pustu, maka terdapat 3 permukiman di Kampung Pigo ini. Saat ini ada tiga permukiman, yaitu kampung yang lama, kampung baru, dan kampung terbaru. Sebelum tim RSC sampai di Kampung Pigo baru, permukiman penduduk berjumlah kurang dari 10 rumah. Menurut info petugas Pustu, itu adalah penduduk yang berselisih dan tidak puas dengan pemerintah Kampung Pigo. Di kampung lama sebetulnya juga masih ada permukiman penduduk, meski sedikit.

“Penduduk di kampung sini pekerjaan sehari-harinya menanam sayur dan berburu. Hasil panen sayur dijual ke perusahaan dan hasil buruan kadang dijual ke Teluk Bintuni karena lebih dekat. Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, penduduk mengandalkan kompensasi berupa bahan makanan hasil “menyewakan” tanah ulayat mereka kepada perusahan pemegang HPH,” ujar petugas Pustu Pigo.

Ketika itu, tim RSC kebetulan berpapasan dengan seorang penduduk yang membawa kardus berisi bahan makanan dari arah bawah. Dengan mengandalkan kompensasi dari perusahaan pemegang HPH, kebutuhan penduduk sehari-hari dapat tercukupi. Akibatnya, aktivitas ekonomi penduduk cenderung menurun.

“Meskipun penduduk Kampung Pigo terlihat hidup berdampingan dengan perusahaan pemegang HPH, terkadang masih terjadi konflik antara penduduk dan perusahaan. Apalagi ketika ada permintaan dari penduduk yang tidak dipenuhi oleh perusahaan. Konflik tersebut berujung pada pemalangan jalan perusahaan,” kata petugas Pustu Pigo.

Menurut salah seorang peneliti UNIPA, di Tanah Papua memang terdapat budaya pengelolaan lahan secara bersama-sama atau kolektif berdasarkan marga. Hal ini memang dapat menjadi salah satu sumber konflik antarmarga jika terjadi aktivitas penjualan lahan. Kadang pembagian hasil penjualan tidak merata ke seluruh anggota marga. Ini terjadi saat salah satu marga mendapatkan hasil penjualan yang lebih besar dibandingkan dengan marga yang lain.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved