Halo, saya Rahmat dari Maluku. Belum lekang dari ingatan saya petuah kakek tentang bagaimana damar hasil hutan bisa menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat Desa Sawai; uang hasil panen kebun pala dan cengkih di Pulau Seram bisa menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi. Saya juga sering merasa iri kalau ayah dan ibu saya sudah membahas tentang keseharian mereka dulu mencari bulu babi saat air laut sedang surut, lalu memasaknya dengan asam buah tomi-tomi yang semuanya tersedia dari alam. Kini untuk bisa mencicipi gandaria—buah favorit saya sewaktu kecil—sudah sangat sulit. Sama sukarnya untuk mendengar suara kicauan burung kakaktua yang sekarang sudah semakin langka. Barangkali saudara-saudara saya yang ada di Papua juga merasakan hal yang sama, apalagi hutan mereka adalah rumah bagi burung-burung surga. Kita semua tahu bahwa ini adalah gejala-gejala dari alih fungsi hutan menjadi lahan sawit dan tambang. “Membuka lapangan pekerjaan” seringkali dijadikan alibi untuk membenarkan apa yang mereka lakukan. Alasan itu membuat saya skeptis karena bukannya menuntaskan kemiskinan, keputusan ini cenderung menciptakan kesenjangan sosial. Resikonya masyarakat adat, flora, dan fauna lokal kehilangan tempat tinggal mereka. Terlebih hati saya hancur berkeping-keping melihat hutan yang sudah seperti ibu bagi kita semua dibunuh perlahan-lahan. Namun, dengan diadakannya kampanye #DefendingParadise oleh EcoNusa saya menjadi optimis kembali terhadap masa depan hutan di Papua dan Maluku. #DefendingParadise mendapatkan dukungan saya 100%, ayo anak muda mari menjadi generasi yang melek terhadap krisis iklim!
Jaga IKLIM