Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Hutan Sagu Sumber Kehidupan dan Penghidupan Masyarakat Suku Kombai dan Korowai

Bagikan Tulisan

Sagu menjadi bagian yang melekat dalam kebudayaan Masyarakat Papua, begitu juga dengan Suku Kombai dan Korowai yang menetap di hutan sagu yang berada dalam administrasi Kabupaten Boven Digoel, Papua. Bagi mereka, sagu menjadi salah satu elemen primer untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, hingga papan.

Sagu bahkan memberikan nilai tambah dalam Festival Ulat Sagu yang dihelat di Dusun Weyunggeo, kampung Uni, distrik Bomakia, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua, Rabu (26/9) lalu. Selain menjadi objek pokok festival pesta sagu yang pertama kali dilakukan di Papua itu, sagu juga menjadi daya tarik dalam mendatangkan sejumlah peserta dari dalam dan luar papua. Turut hadir dalam festival yang berlangsung semalam suntuk tersebut Asisten II Sekda Papua Bidang Perekenomian dan Kesra Noak Kapisa, Ketua DPRD Boven Digoel Ayub Santi serta Bupati Boven Digoel Benediktus Tambonop, Yayasan Silva Papua Lestari, serta masyarakat Kampung Aiko, Kampung Boma dua, Kampung Vevero, Kampung Dema, Kampung Wanggemalo, Kampung Ugo dan Kampung Havenda.

Hanya saja, keberadaan sagu dalam festival itu maupun dalam budaya masyarakat papua pada umumnya juga tergantung pada ketersediaan Tumbuhan tersebut di dalam hutan. Jika kondisi hutan rusak maupun terus menerus tergerus oleh kebutuhan lahan untuk peruntukan lain, maka sagu pun turut rusak.

Padahal, ada cita-cita luhur untuk menjadikan Festival ini sebagai objek wisata untuk mendatangkan pemasukan bagi Pemerintah Daerah setempat.

“Dengan penyelenggaraan festival ini, berarti butuh sagu dalam jumlah banyak, kalau ada konversi lahan, maka akan ada ancaman dan budaya terdegradasi,” terang Kristian Ari dari perkumpulan Silva Papua Lestari.

Noak Kapisa di sela-sela wawancara menyatakan akan menjamin untuk berfokus pada pemberian akses hutan pada masyarakat adat, karena hal itulah yang dibutuhkan masyarakat untuk menjaga hutan mereka. Menurutnya, Pemerintah Provinsi akan coba untuk menggodok regulasi yang mengatur hal tersebut.

“Coba kirim draf (Perda Pengakuan Masyarakat Adat)-nya ke kita Pemprov. Nanti kami akan coba bikin perdanya untuk masyarakat adat, karena kami sudah ada tim,” terang dia.

Dirinya menyebut akan menjelaskan detil bentuk pengakuan masyarakat adat. “Misalnya nanti apa itu akses masyarakat untuk masuk mengelola hutan. Dengan MK yang 35 toh,” ucap dia.

Ayub Santi dalam kesempatan yang sama menyebut pengakuan lewat Perda tersebut dapat dilakukan oleh DPRD atau Pemerintah Provinsi. Hanya saja, yang perlu dilakukan saat ini adalah membuat Pemerintah Pusat juga sejalan dengan Perda yang ditebitkan oleh DPRD dan Pemerintah Provinsi Papua.

“Ini harus mendapat pengakuan dari pemerintah pusat, jadi harus ada kajian tertentu. Karena di daerah kami ini jujur saya katakan bahwa hutan Boven Digoel ini sudah dimiliki oleh orang-orang pusat. Sudah di kavling-kavling. Itu yang harus kami bicarakan baik-baik, nanti kalau provinsi mendukung (Perda) mungkin nanti provinsi yang menyampaikan ke pemerintah pusat,” ucap Dia.

Sementara itu Benediktus Tambonop menyebut akan memastikan pengesahan Perda cepat untuk dilakukan. “Ya, kami akan dorong untuk cepat ketuk palunya,” Imbuh Dia.

Laju alih fungsi lahan terus terjadi di Indonesia bahkan di Papua. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat pada 2015, luas hutan di Provinsi Papua dan Papua Barat—termasuk hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan lindung—mencapai 38.153.269 hektare (ha). Padahal hingga 2009, luas hutan di sana mencapai 42 juta ha. Tahun 2011 lalu Greenpeace mencatat laju deforestasi rata-rata per tahun di Provinsi Papua mencapai 143.680 ha, sementara di Provinsi Papua Barat 293 ribu ha.

Masyarakat sekitar pun memberikan keprihatinan mereka. Salah satu masyarakat Kombai, Daniel meminta agar ada perlindungan yang dilakukan Pemerintah dan lainnya. “Hutan kami tidak terlalu besar, hanya ratusan meter dan kami rugi kalau hutan kami diambil kayunya. Lalu jangan ada perusahaan yang masuk supaya sagu kami juga tidak ditebang dan diinjak. Itu bikin kami rugi,” ucap Daniel.

Untuk itu, dibutuhkan komitmen dari berbagai pihak. Tidak hanya dari Pemerintah, pihak berkepentingan lainnya seperti NGO dan Dunia Usaha pun harus turut serta dalam menyelamatkan dan memulihkan hutan di bagian timur Indonesia ini.

Harapan baru akan tumbuh dalam penyelenggaraan International Conference on Biodiversity, Ecotourism, and Creative Economy, di Manokwari, Papua Barat pada 7-10 Oktober mendatang. Setidaknya, salah satu agenda dalam Konferensi tersebut ialah menandatangani Peraturan Daerah Khusus untuk menetapkan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi sebagaimana sudah dideklarasikan pada 2015 lalu.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved