Meski memiliki predikat sebagai negara megabiodiversitas karena keanekaragaman hayati hutan dan lautnya yang sangat tinggi, Indonesia justru terancam oleh deforestasi dan degradasi fungsi hutan, khususnya akibat perluasan konsesi perkebunan sawit. Pada tahun 2014-2015, laju deforestasi Indonesia bahkan mencapai 1.09 juta hektare dan menjadi salah satu yang tertinggi di dunia; memusnahkan sebagian hutan hujan tropis yang menyokong kehidupan, baik satwa maupun masyarakat adat.
Tidak hanya di rimba, tantangan serupa juga melanda kawasan pesisir, laut, dan sektor perikanan. Praktik penangkapan ikan skala besar, metode penangkapan ikan yang merusak, dan tata kelola yang bermasalah, membuat kesejahteraan nelayan dan daya dukung ekosistem laut menjadi rendah, serta populasi biota laut terus menurun.
Satu-satunya kawasan yang saat ini masih memiliki luasan hutan tropis dan ekosistem laut yang cukup baik berada di Indonesia bagian timur, terutama di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku. Hal ini menjadikan Indonesia Timur kini sebagai benteng terakhir hutan hujan tropis di Indonesia. Sayangnya, persepsi masyarakat Indonesia mengenai wilayah timur masih didominasi stereotipe yang negatif, seperti konflik, bencana alam, maupun keterbelakangan masyarakat asli. Ini tak lepas dari arus informasi yang dikontrol ketat oleh pemerintah pusat sejak puluhan tahun silam, juga diperparah dengan minimnya infrastruktur komunikasi yang membuat arus informasi menjadi terbatas.
Di sisi lain, Indonesia juga diberkati sumber daya manusia yang luar biasa tinggi. Menurut hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, populasi penduduk Indonesia berjumlah 238.518.000 jiwa, dan diperkirakan akan mencapai 271 juta jiwa pada tahun 2021. Hampir 30 persen populasi penduduk Indonesia adalah generasi muda dan usia produktif, dengan populasi remaja usia 16-30 tahun sebanyak 63,82 juta jiwa atau setara 24,51 persen dari total penduduk pada tahun 2018.
Kaum muda memiliki peran dan peluang besar untuk terlibat dalam menjaga ekosistem hutan dan laut dengan cara membangun narasi baru tentang Indonesia Timur. Kaum muda dapat membawa pesan-pesan positif dan menginspirasi banyak orang untuk perubahan yang lebih baik bagi lingkungan dan masyarakat Indonesia Timur.
School of Eco-Diplomacy (SED) merupakan wujud inisiatif Econusa dalam meningkatkan kapasitas kaum muda untuk mempromosikan keragaman budaya dan kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia, utamanya di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku. SED bercita-cita menciptakan narasi baru untuk mempercepat kesejahteraan warga dan kelestarian kekayaan alam Indonesia Timur. Cerita-cerita baru tentang ekologi dan masyarakat, khususnya di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku, diharapkan mampu mengubah cara orang asli dan orang luar dalam melihat keadaan, serta menumbuhkan harapan dan optimisme dari masyarakat Indonesia bagian timur.
Program SED mengutamakan pendekatan diplomasi lingkungan yang menegosiasikan kepentingan para pihak dengan menekankan pentingnya proteksi dan penyelamatan ekologi. Pendekatan ini diturunkan menjadi tiga tipe diplomasi sebagai fokus pengembangan kapasitas anak muda, yakni:
- Diplomasi publik, yang mempromosikan nilai-nilai maupun intervensi kebijakan yang berkenaan dengan kepentingan publik.
- Diplomasi masyarakat, yang mengkomunikasikan pertukaran pengetahuan, keterampilan, dan pemberdayaan di masyarakat.
- Diplomasi digital, yang memanfaatkan teknologi informasi digital untuk mengkampanyekan isu-isu secara luas.
Dengan pendekatan diplomasi lingkungan, alumni SED diharapkan dapat menemukan ketertarikan dan aspirasinya terkait isu ekologi dan iklim di berbagai wilayah di Indonesia, serta secara aktif mengomunikasikannya kepada jejaring dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional.