Home » Harmoni Laut
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, tidak kebal dari ancaman krisis iklim global. Akibat krisis tersebut, saat ini suhu laut telah meningkat sekitar 0,13°C per dekade selama 100 tahun terakhir. Semakin hangatnya air laut menyebabkan perubahan ekosistem laut dan mempengaruhi kehidupan yang ada di dalamnya (IUCN, 2016). Di Indonesia, iklim yang berubah telah mengakibatkan beberapa perubahan terhadap kesehatan ekosistem penting pesisir dan berubahnya musim penangkapan ikan. Hal ini berdampak kepada sosial ekonomi masyarakat pesisir di Indonesia. Beberapa dampak buruk dari perubahan iklim di antaranya adalah pemutihan karang massal, berpindahnya ruaya ikan ke tempat yang lebih dingin, dan berubahnya musim penangkapan ikan serta menurunnya hasil tangkapan nelayan.
Intervensi Indonesia krusial untuk mengatasi dampak iklim terhadap kelautan dan perikanan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, lebih dari 60% wilayah Indonesia adalah perairan. Artinya, laut dan samudera intra-nasional yang menjadikan Indonesia memiliki peran penting dalam membentuk iklim global melalui lautannya (UN Report, 2017). Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menetapkan pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan melalui lima pilar, yaitu: (i) mencegah dan mengendalikan pencemaran di wilayah laut dan pesisir; (ii) memantau kesehatan ekosistem laut; (iii) merestorasi ekosistem dan lingkungan yang rusak di sekitar wilayah pesisir dan laut, termasuk mangrove, terumbu karang, dan padang lamun; serta (iv) memperkuat keamanan laut (Bappenas, 2021). Kelima pilar tersebut merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Selain itu, RPMJMN menyatakan bahwa sektor kelautan dan perikanan mendukung pencapaian agenda pembangunan nasional, khususnya penguatan ketahanan ekonomi untuk agenda pertumbuhan yang berkualitas dan merata, agenda perbaikan lingkungan dan peningkatan ketahanan bencana, agenda penguatan stabilitas politik, hukum, dan keamanan, dan transformasi pelayanan publik (Bappenas, 2021).
EcoNusa bercita-cita agar pengelolaan kelautan dan perikanan yang adil dan berkelanjutan menjadi agenda utama pemerintah Indonesia. Untuk mencapai visi tersebut, Program Kelautan EcoNusa menjalankan strategi utama sebagai berikut:
EcoNusa telah berkolaborasi dengan masyarakat, organisasi nasional dan regional di Maluku Utara (Ternate, Halmahera Selatan), Maluku (Banda, Kepulauan Aru, Ambon), Papua Barat (Kaimana, Sorong, Manokwari), Papua (Jayapura, Merauke), Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Dasar dari kolaborasi-kolaborasi ini adalah kesadaran bahwa kontribusi wilayah timur Indonesia pada sektor perikanan, yaitu sekitar 7,95% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dalam enam tahun terakhir (BPS, 2021a), belum berdampak terhadap ekonomi lokal. Hal ini digambarkan pada laporan pemerintah mengenai provinsi termiskin di Indonesia yang menyatakan bahwa 4 dari 5 provinsi termiskin berasal dari Indonesia Timur, yaitu Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Padahal, wilayah laut dan pesisir Indonesia Timur mempunyai potensi sumberdaya pesisir dan laut yang kaya. EcoNusa berupaya untuk menciptakan kesejahteraan serta mencapai pengelolaan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan melalui intervensi kebijakan, kampanye publik, gerakan pemuda, dan mendukung ekonomi alternatif dan berkelanjutan dengan mempromosikan bisnis lokal yang bekerja sama dengan koperasi lokal.
EcoNusa memiliki peran strategis dalam menyelenggarakan advokasi kebijakan dan menghubungkan kelompok masyarakat sipil untuk bersatu sebagai koalisi; memperkuat posisi masyarakat lokal untuk menyuarakan keprihatinan terkait kelautan dan perikanan di tingkat nasional maupun daerah; dan mengembangkan rekomendasi kebijakan untuk pemerintah berbasis bukti yang didukung oleh universitas dan ilmuwan yang kredibel di tingkat daerah dan nasional.
EcoNusa menginisiasi dan memimpin dua koalisi, Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) dan Jaring Nusa, untuk menangani isu-isu laut. Di tingkat nasional, KORAL membantu memperkuat rekomendasi kebijakan dengan mengumpulkan bukti dari jaringan nasional dan regional, universitas dan lembaga penelitian. Di tingkat daerah, Jaring Nusa memfasilitasi proses pembelajaran dan pengelolaan pengetahuan di antara LSM dan organisasi daerah, dan juga mempromosikan praktik terbaik dalam pengelolaan perikanan skala kecil.
KORAL adalah koalisi yang beranggotakan 9 organisasi kunci yang memiliki fokus kerja untuk mewujudkan tata kelola perikanan dan kelautan berkelanjutan. Didirikan pada 2020, KORAL memiliki 9 anggota aktif, yaitu: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Yayasan EcoNusa, Pandu Laut Nusantara, Greenpeace Indonesia, Destructive Fishing Watch (DFW), Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI), dan Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL).
Jaring Nusa adalah koalisi beranggotakan 17 organisasi regional yang berkomitmen untuk menjaga pesisir laut dan pulau-pulau kecil di kawasan timur Indonesia secara kolaboratif. Fokus isunya antara lain: perubahan iklim, kebijakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, kearifan lokal berbasis konservasi, dan penguatan generasi muda cinta laut, pesisir dan pulau-pulau kecil serta pengakuan terhadap pengelolaan ruang laut yang berkeadilan bagi nelayan dan masyarakat pesisir dan pulau kecil.
EcoNusa juga mengikutsertakan media dan jurnalis dalam menyalurkan suara publik, LSM, CSO/CBOs dan pemuda tentang laut yang berkelanjutan. Melalui program “Fellowsea”, EcoNusa menggandeng 120 jurnalis dari 29 provinsi, 15 media teratas, 25 influencers di 15 kota dan wilayah utama untuk meningkatkan kesadaran publik tentang isu-isu kelautan.
EcoNusa juga dilengkapi dengan “kantor” kelautan yang dapat berpindah-pindah bernama EcoXplorer, yang menjadi sarana pendidikan dan kesadaran publik, dan pusat penelitian dan pelatihan. Selain itu, EcoXplorer akan membantu tim EcoNusa dalam memantau dan mendeteksi ancaman di laut, seperti aktivitas penangkapan ikan yang merusak dan dampak krisis iklim. Temuan dari kegiatan tersebut akan berkontribusi pada penguatan rekomendasi kebijakan kepada pembuat kebijakan. EcoXplorer akan beroperasi di wilayah Maluku dan Kepala Burung, Papua Barat. Untuk mendukung keberlanjutannya, kapal EcoExplorer akan digunakan untuk ekowisata dan pengangkutan dan perdagangan komoditas lokal.
EcoNusa percaya bahwa pengelolaan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dan adil dapat berkontribusi pada pencapaian yang lebih besar dari kegiatan berbasis laut. Keuntungan ini dapat disalurkan kembali ke konservasi laut, mendorong mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat pesisir, dan melestarikan keanekaragaman hayati laut dengan pemulihan ekosistem laut dan pesisir. Pemerintah Indonesia perlu mengoptimalkan sumber daya kelautan dan perikanan, merancang dan mengintegrasikan kebijakan, dan mengambil tindakan menuju pengelolaan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Klik salah satu atau beberapa kategori di bawah (Our Offices and Field Station, EcoFund Distribution, Ocean Program Initiatives, Indigenous Community Mapping and Rights, dst) untuk memilih titik-titik peta tertentu.