Ekowisata harus berbasis masyarakat adat karena masyarakat adat lebih mengenali potensi alam yang ada, termasuk budaya, kuliner dan juga kerajinan tangannya. Hal ini disampaikan oleh Muhammad Farid, Direktur Program Yayasan EcoNusa di sela Lokakarya Ekowisata se-Tanah Papua pada 16-17 Februari di Sorong, Papua Barat.
“Kami senang melihat masyarakat sejahtera dengan mengelola sumber daya alamnya sendiri. Program ekowisata sebagai salah satu bentuk ketangguhan masyarakat (community resilence) yang tidak kita sadari mendukung upaya-upaya melindungi ekosistem hutan dan ekosistem laut dalam skala luas,” kata Farid.
Acara ini dibuka oleh Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua Barat, Ruland Sarwom. Ada 17 orang asli Papua dari 10 kabupaten yang menghadiri lokakarya tersebut. Mereka juga memaparkan 12 inisiatif lokal yang sudah dijalankan sebagai ekowisata. Bahkan inisiatif lokal seperti bird watching diklaim dapat menjaga sekitar 300.000 hektare hutan primer.
Lokakarya ini diadakan untuk mengumpulkan praktik-praktik pengelolaan ekowisata oleh masyarakat asli Papua. Melalui forum ini mereka dapat mengenali tantangan dan peluang untuk mengembangkan ekowisata Tanah Papua. Mereka didorong untuk membentuk wadah komunikasi yang akan mempersatukan para pelaku ekowisata.
“Pembangunan kepariwisataan yang berbasis masyarakat adat secara berkelanjutan dan terpadu antarpemangku kepentingan bertujuan untuk menjalin komunikasi dan membangun komitmen bersama dalam mengelola ekowisata di Tanah Papua yang kitorang cinta ini,” kata Ruland.
Menurut PP Nomor 50/2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS), Papua memiliki 4 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), yakni Biak Numfor dan sekitarnya, Sentani – Wamena, Timika – Lorentz, Merauke – Wazur dan sekitarnya. Sedangkan Papua Barat memiliki 2 DPN, yaitu Kawasan Sorong – Raja Ampat dan sekitarnya, Kawasan Manokwari – Fakfak.
Potensi ekowisata di Papua dan Papua Barat sangat melimpah. Raja Ampat menawarkan wisata diving dan homestay, wisata mangrove di Teluk Bintuni, pengamatan burung di Pegunungan Arfak, wisata budaya dan pendakian gunung di Kaimana, wisata danau di Paniai, seni ukir di Asmat, festival Lembah Baliem di Jayawijaya, Teluk Sarwandori di Kepulauan Yapen.
Ekowisata berbasis masyarakat merupakan salah satu konsep yang tepat untuk pengembangan DPN di Tanah Papua tersebut. Dengan ekowisata pengembangan DPN dapat dilakukan secara berkelanjutan untuk melindungi, melestarikan, memberdayakan serta mengoptimalkan manfaat sumber daya pariwisata sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat di wilayah DPN.
Para peserta lokakarya kemudian membentuk Jaringan Ekowisata Masyarakat Asli Papua (JEP) sebagai media untuk berkomunikasi, koordinasi dan konsultasi. Mereka juga akan meningkatkan kapasitas melalui pelatihan, kunjungan, berbagi pengetahuan (shared learning) dan serta roadshow. Ekowisata memerlukan pasar, sehingga mereka bisa mempromosikan para pelaku dan pasar melalui kegiatan Meet the Market (MtM).
“Saya sangat bersyukur dapat hadir dalam kegiatan yang benar-benar membicarakan situasi dan kondisi ekowisata di kampung. Kami dapat saling belajar untuk memajukan usaha wisata alam untuk kesejahteraan kami sendiri, yaitu Orang Asli Papua di atas tanahnya,” kata Absalom Kalami, salah satu peserta. Ia juga mengelola ekowisata agar hutan di daerahnya tidak dikonversi ke perkebunan kelapa sawit.
Lokakarya ini difasilitasi oleh Indonesian Ecotourism Network (INDECON) dengan dukungan dari Yayasan EcoNusa bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua.
Penulis: Leo Wahyudi dan Stephanie Ratih Andriyani