Pulau Halmahera telah terlihat dari kapal yang membawa kami dari pulau Kofiau, Raja Ampat. Ujung selatan Pulau Halmahera adalah salah satu lokasi yang pernah disinggahi Alfred Russel Wallace. Ia adalah penjelajah asal Inggris yang mengumpulkan contoh-contoh tumbuhan dan hewan yang kemudian diidentifikasi untuk keperluan ilmu pengetahuan. Pulau ini termasuk salah satu tempat penting bagi penemuan-penemuan biologi pada waktu itu.
Beberapa kampung mulai terlihat. Bangunan rumah ibadah tampak menonjol dari kejauhan. Kebun kelapa terlihat membentang dari kapal kami. Selama ratusan tahun, kelapa adalah sumber penghidupan utama masyarakat di sebagian besar pesisir Pulau Halmahera dan sebagian Pulau Papua. Kelapa-kelapa tersebut diolah sebagai kopra yang biasanya akan diangkut kapal-kapal pengumpul. Sayangnya harga kopra saat ini tidak seindah nyiurnya yang melambai. Harga kopra kadang tergerus sampai di bawah seribu rupiah per kilogram. Akibatnya, kelapa-kelapa yang tumbuh di lahan-lahan penduduk sudah tidak terawat seperti dulu lagi.
Selagi saya membayangkan bagaimana Wallace memasuki wilayah-wilayah ini dahulu kala, sebuah “tug boat” melintasi kapal kami. Tug boat itu menarik tongkang besar. Walaupun tak bermuatan, kehadirannya menjadi pertanda nyata eksploitasi dan ekstraksi Pulau Halmahera sedang dilakukan secara masif. Kalau melihat arah datangnya tongkang itu, kemungkinan berlayar dari arah Widi. Di sana ada perusahaan tambang yang sedang mengeruk nikel dan emas dari perut Halmahera. Pulau ini memang kaya mineral. Bisa dikatakan pulau-pulau yang terbentang mulai dari Raja Ampat hingga Soroako di Sulawesi adalah gugusan pulau-pulau nikel. Hampir seluruh pulau tersebut telah dikapling-kapling sebagai wilayah tambang.
Kami sudah dekat dengan kampung kedua yang akan kami tuju, Gane Dalam. Dari kejauhan sudah tampak jelas bukit-bukit yang “dicukur”. Hutannya habis. Sebagian digantikan tanaman sawit yang mungkin masih berumur 4 tahun. Sebuah bangunan besar terlihat berdiri di pesisir, dengan jalan besar yang menanjak ke arah perkebunan tersebut. Perkebunan kelapa sawit tersebut dioperasikan oleh PT. KORINDO.
Baca juga: Mempertahankan Harapan yang Tersisa di Gane Dalam
Ada rasa miris saat melihatnya. Karena wilayah itu adalah salah satu “biodiversity hotspot” yang pernah menjadi persinggahan Alfred Russel Wallace untuk mengumpulkan spesimen penting terkait keanekaragaman hayati Pulau Halmahera.
Kami berlabuh di sebuah teluk yang konon menjadi pangkalan kapal perang Indonesia ketika bersiap melakukan “pembebasan” Irian Barat. Menurut penuturan salah satu warga, ketika itu teluk ini dipenuhi kapal perang. “Stom” kapal-kapal perang ketika itu membuat warga berlarian ke hutan.
Kapal kami berlabuh tak jauh dari Kampung Gane Dalam. Dulu masyarakat menyebut Gane Dalam dengan sebutan Negeri Gani. Di pelabuhan kecil Kampung Gane Dalam, kami disambut oleh beberapa tetua warga dan kawan-kawan WALHI Maluku Utara. Tarian Cakalele menjadi penyambutan adat warga Gane Dalam untuk kedatangan kami. Kami lalu bersantap siang bersama warga dan kawan-kawan WALHI. Di tempat itu, terlihat juga komoditas asli warga seperti ikan asin, minyak kelapa, kerajinan, dan keripik pisang.
Gane Dalam adalah “kampung perlawanan” yang digalang Walhi Maluku Utara sejak 2010. Masyarakat melawan ketidakadilan atas hak dan lingkungan yang telah mereka rawat selama ratusan tahun. Bertahun-tahun, kayu-kayu di hutan mereka dijarah oleh perusahaan HPH. Sejak 2010, PT. Korindo mencukur hutan-hutan yang menghidupi masyarakat Gane Dalam selama ratusan tahun untuk dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Dari total 11.000 hektare yang direncanakan, 7.000 hektare di antaranya telah digunduli dan ditanami sawit. KORINDO tidak hanya merusak lingkungan di tanah dan hutan Gane saja, melainkan juga tanah dan hutan adat di selatan Tanah Papua.
Pada 2013, puluhan warga Gane dijebloskan ke penjara karena dianggap mengganggu aktivitas perusahaan. Warga memprotes KORINDO yang menghancurkan tanah dan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka serta mengabaikan hak-hak warga.
Kehadiran KORINDO pun tidak hanya merusak hutan dan tanah, namun juga tatanan sosial warga. Saya sempat bertanya kepada warga, mengapa ada dua masjid di kampung kecil ini? Mereka menjelaskan, ketika beberapa warga keluar dari penjara dengan vonis bebas murni, mereka kemudian menggalang sumbangan untuk membangun masjid baru.
Warga pun terpecah antara yang menolak dan mendukung kehadiran KORINDO. Bahkan hingga urusan Tuhan pun mereka tidak mau bercampur. Tak hanya itu, akibat kehadiran KORINDO, persaudaraan warga pun ikut rusak. Sesama saudara kandung tidak lagi bertegur sapa karena kehadiran perusahaan ini.
Gempa bumi tahun 2019 yang meruntuhkan banyak rumah warga menyadarkan mereka kembali bahwa tidak orang lain yang bisa mereka harapkan selain saudara sendiri. Bahkan perusahaan sekalipun tak dapat menggantikan hubungan persaudaraan warga. Ternyata gempa bumi tersebut kemudian kembali menyatukan warga, meski KORINDO tetap saja bercokol. Namun demikian, semangat warga untuk melawan perusahaan tersebut tidak pernah pudar.
Kunjungan kami ke Gane Dalam bertujuan untuk memberikan dukungan bagi masyarakat. Relawan dokter dari Tim EcoNusa bersama petugas kesehatan kecamatan setempat melakukan penyuluhan pencegahan COVID-19 dan pelayanan kesehatan gratis. Tak hanya itu, kami juga memberikan dukungan sarana produksi pertanian untuk memantapkan ketahanan pangan lokal.
Anak-anak muda di kampung Gane adalah generasi muda yang penuh semangat. Namun jauh di lubuk hati mereka ada rasa khawatir akan masa depan mereka karena hutan yang sudah tercukur. Bersama kawan-kawan WALHI, kami juga menanam mangrove di sekitar kampung. Harapannya, mangrove akan memberi secercah harapan setelah hutan-hutan mereka dicukur dan digunduli.
Bustar Maitar
CEO EcoNusa & Tim Leader Ekspedisi Maluku EcoNusa
Editor: Leo Wahyudi