Search
Close this search box.
EcoStory

Cerita dari Neniari Gunung, Menggerakkan Para Mama untuk Bertanam Sayur Organik

Bagikan Tulisan
Elvira Lumapuy, peserta Sekolah Transformasi Sosial (STS) Saka Mese Nusa asal Kampung Neniari Gunung. (Yayasan EcoNusa/Roberto Yekwam)

Keterbatasan tak menyurutkan langkah Elvira Lumapuy, 26 tahun, untuk menginisiasi warga di kampungnya menanam sayuran organik. Sejak menyelesaikan pelatihan di Sekolah Transformasi Sosial (STS) Saka Mese Nusa di Negeri Morekau, Seram Bagian Barat, Maluku, pada 8-25 Februari 2021, ia dengan giat menyemai bibit-bibit sayur untuk ditanam oleh warga Neniari Gunung, Seram Bagian Barat. 

“Setelah pulang itu, beta (saya) deng (dengan) kawan yang ikut pelatihan beli bibit dan polybag. Katong (kami) semai 300 cili (cabai) dan 200 sawi,” kata Elvira, yang biasa dipanggil Vira, di sela acara penutupan STS, Sabtu, 21 Mei 2022. Vira dan Benja membeli bibit tersebut menggunakan uang pribadi mereka. 

Neniari Gunung, kampung mereka, terletak di dataran tinggi pegunungan Seram yang bersuhu dingin. Penduduk setempat menyebutnya negeri di atas awan. Akses ke negeri (kampung) tersebut masih sangat sulit. 

Baca juga: Eko, Sosok Perangkul Pemuda dan Pendorong Para Mama

Dari Pelabuhan Waipirit di Kairatu, Neniari Gunung bisa dijangkau dengan menggunakan mobil selama 6-7 jam sampai di Negeri Rumahsoal. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki karena belum ada jalur untuk kendaraan. Menyusuri jalan setapak yang berkelok dan naik-turun bukit, melewati kawasan hutan, kebun, juga menyeberangi sungai.

Penduduk Neniari biasanya sampai di kampung dengan berjalan 1,5-2 jam dari Rumahsoal. Tapi untuk yang tidak terbiasa berjalan, waktunya bisa lebih lama, sekitar 3 jam. Jika mau menjual hasil kebun, seperti durian, cengkih, kakao, dan getah damar, orang Neniari pun harus turun ke Rumahsoal dengan memikul hasil kebun mereka.      

Kepala Kantor Kepulauan Maluku, Carmelita Mamonto menyerahkan sertifikan Sekolah Transformasi Sosial Saka Mese Nusa kepada Elvira Lumapuy asal Kampung Neniari Gunung. (Yayasan EcoNusa/Roberto Yekwam)

Di kelas pertanian STS, Vira antara lain belajar tentang membangun ketahanan pangan di kampung. Misalnya dengan menanam sayuran organik untuk memenuhi kebutuhan gizi di rumah sendiri. Menurut Vira, warga Neniari sebelumnya jarang menanam sayuran. Mereka hanya menanam jika mendapat bantuan bibit.

Baca juga: Lulusan SD Jadi Inisiator Kemandirian Negeri

Setelah pulang dari STS itu, Vira dan Benja meminjam alat-alat pertanian, seperti cangkul, ke tetangga untuk menyemai bibit yang telah mereka beli. Sebagian bibit tersebut lalu mereka tanam sendiri. Sebagian besar lainnya dibagikan kepada para mama di Neniari. 

Vira dan Benja juga membagikan bibit kacang panjang dan kangkung. Ia mengajari para mama agar bibit tersebut lebih cepat tumbuh dengan merendamnya, seperti yang ia pelajari di salah satu materi STS. 

“Sekarang beta  lihat banyak orang bertanam sayur di pekarangan rumah, apalagi kacang panjang, hampir di semua pekarangan rumah,” ujar Vira. Sebagian mama tersebut bahkan bisa mendapat penghasilan tambahan dengan menjual kacang panjang di kampung mereka.

Baca juga: Penutupan STS Morekau, Sesi Berbagi Membangun Negeri

Vira berupaya menggerakkan masyarakat kampung untuk konsisten bertanam sayuran organik bersamanya dan Benja. Banyak mama yang ingin bergabung. Namun, Vira dan Benja hanya mau bekerja sama dengan para mama yang benar-benar mau bekerja. “Ada 4 orang ibu yang kerja sama dalam pembibitan dan tanam sayur. Katong tanam cili dan terong,” kata Vira.

Selain bertani sayur organik, Vira pun mulai merintis usaha madu hutan yang potensinya tersedia di negerinya. Ia menonton tutorial budi dayanya di YouTube. Atas bantuan EcoNusa, ia memiliki 5 kotak untuk digunakan menjadi sarang dan mulai membudidayakan lebah hutan sejak April 2022. “Ada 4 bapak yang bekerja sama deng beta,” ujarnya.   

Editor: Leo Wahyudi & Carmelita Mamonto

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved